29 June 2011

JURNAL FARMASI FISIKA KRISTALOGRAFI part II

2. Bahan dan Metode

2.1 Bahan

    Pati gandum BP disuplai dari Energen. Hidroksiprofilmetilselulosa USP (HPMC 2910/15) diperoleh dari ISISA. Lissamine Green PA disuplai oleh Merck.


 

2.2 Produksi Pati Termal yang Diubah

    Dua buah suspensi dari pati gandum, 15 dan 5% (w/v) dipersiapkan dalam air distilasi. Gelatinisasi dibentuk dengan suhu 70oC dalam sebuah penangas air termostatik terkontrol dengan pengadukan konstan. Bagian terdispersi dibekukan kemudian dibeku-keringkan dalam sebuah unit Liolabor 7 Telstar pada 75 Pa. Durasi siklus beku-kering dari 300 ml kedua suspensi adalah 45 jam.


 

2.3 Analisis Ukuran Partikel

    Distribusi ukuran partikel dicapai melalui penyaringan dengan kesetaraan diameter yaitu 0,05 dan 1,00 mm. Dihitung dan dibandingkan dengan perhitungan volume / diameter permukaan.


 

2.4 Penentuan Aliran Serbuk

    Besarnya jumlah dan tekanan volume ditentukan dengan menuangkan bubuk ke dalam silinder graduated, pembacaan dilakukan sebelum dan setelah tekanan 500. Rasio Hausner ditentukan sebagai rasio besarnya jumlah hingga besarnya tekanan. Indeks kompresibilitas dari Carr ditentukan sebagai rasio persentase dimana serbuk dikemas dalam besarnya tekanan.


 


 


 

2.5 Kadar Air

    Jumlah kandungan air dalam 200 mg sampel, disimpan dalam suhu ruangan, diuji dengan metode Karl-Fischer. Semua penentuan dibentuk dalam 3-lipatan. Data diberikan dalam bentuk persentase.


 

2.6 Tablet

    Campuran biner dipersiapkan dengan kandungan 15 dan 5% modifikasi pati–HPMC dalam rasio beragam (4:0, 3:1, 2:2, 1:3 dan 0:4) dan fluiditasnya ditentukan melalui perhitungan rasio Hausner dan indeks Carr. Dalam studi disolusi, Lissamine-Green (4,5 mg) digabungkan dalam formulasi sebagai model obat. Bahan-bahan tersebut dikempa pada mesin tablet eksentrik Bonals dengan menggunakan tekanan datar berdiameter 14 mm dan diperoleh 300 mg tablet.


 

2.7 Tes Tablet

    Variasi bobot dihitung menurut metode USP XXII. Kekerasan tablet dapat diukur dalam enam buah tablet dengan menggunakan alat ukur kekerasan Erweka. Tes kehancuran dibentuk dalam enam buah tablet dengan menggunakan metode FE 1988 dalam air terdestilasi.


 

2.8 Studi Penetrasi

    Evaluasi penetrasi kualitatif dan kuantitatif dari solusio Lissamine Green dalam tablet dilaksanakan untuk menentukan mekanisme pelepasan. Dengan alasan ini, tablet dimasukkan ke dalam tester disintegrasi dengan menggunakan solusio Lissamine Green (34,48 µg/ml) pada suhu 37oC sebagai media disolusi. Tablet ditarik pada 30, 60, dan 120 menit. Tablet-tablet tersebut kemudian diperiksa pada pembesaran 10x. Kemudian, tablet-tablet tersebut dikeringkan dalam sebuah heater dengan suhu 45oC untuk mencapai bobot yang konstan sehingga bobot, diameter dan sejumlah Lissamine Green dalam tiap tablet dapat ditentukan.


 


 

2.9 Studi Disolusi

    Disolusi diteliti menggunakan sebuah penguji disolusi Turu Grau dengan 1000 ml air destilasi pada suhu 37oC dan pengadukan dengan perputaran keranjang pada 100 rpm selama 8 jam. Lissamine Green kembali diuji melalui spektrofotometri visible pada 635 nm.

    Data yang dirilis disesuaikan pada nol- dan bentuk pertama kinetic yang berurutan dan diuji perbedaan statisnya.

Read more »

MIKROENKAPSULASI PROPANOLOL HIDROKLORIDA DENGAN PENYALUT ETIL SELULOSA MENGGUNAKAN METODA PENGUAPAN PELARUT

  1. TINJAUAN PUSTAKA
    1. Propanolol Hidroklorida

      Propranolol adalah suatu obat penghambat adrenoreseptor beta, yang sangat berguna untuk menurunkan tekanan darah pada hipertensi ringan dan hipertensi sedang. Pada hipertensi berat, propranolol terutama berguna dalam mencegah terjadinya reflex takikardia yang sering timbul pada pengobatan dengan vasodilator (Katzung B.G, 1998).

      Propanolol hidroklorida adalah penghambat beta pertama yang diresepkan untuk mengobati angina, aritmia jantung, dan hipertensi. Meskipun sampai kini masih dipakai, obat ini mempunyai banyak efek samping, sebagian karena respon nonselektifnya dalam menghamba baik reseptor beta1 maupun reseptor beta2. Obat ini merupakan kontraindikasi bagi klien penderita asma, atau blok jantung derajat dua atau tiga. Propanolol dimetabolisme dengan ekstensif oleh hati, first pass hepatic; sehingga hanya sejumlah kecil dari obat yang mencapai sirkulasi sistemik (Joyce, 1996)..


 

Farmakokinetik

Propanolol diabsorbsi dengan baik melalui saluran gastrointestinal. Obat ini menembus sawar darah-otak dan plasenta, dan ditemukan dalam air susu. Obat ini dimetabolisme oleh hati dan mempunyai waktu paruh singkat yaitu 3-6 jam (Joyce, 1996).


 

Farmakodinamik

Dengan menghambat kedua jenis reseptor beta, propanolol menurunkan denyut jantung, dan sekunder, tekanan darah. Obat ini juga menyebabkan saluran bronkial mengalami konstriksi dan kontraksi uterus. Obat ini tersedia untuk oral dalam bentuk tablet dan kapsul sustained-released, dan untuk pemakaian intravena. Mula kerja dari preparat sustained-release lebih lama daripada tablet; waktu mencapai kadar puncak dan lama kerjanya juga lebih lama dari sustained-release. Bentuk ini efektif untuk dosis pemberian satu kali sehari, khususnya untuk klien yang tidak patuh untuk dosis obat beberapa kali sehari (Joyce, 1996).


 

Interaksi obat

Banyak obat berinteraksi dengan propanolol. Fenitoin, isopoterenol, NSAID, barbiturat, dan satin (kafein, teofilin) mengurangi efek obat propanolol. Jika propanolol dipakai bersama digoksin atau penghambat kalsium, maka dapat terjadi blok jantung atrioventrikular (AV). Tekanan darah dapat diturunkan jika propanolol diberikan bersama antihipertensi lain (ini mungkin efek yang diinginkan) (Joyce, 1996).


 

  1. Etil Selulosa

    Etil selulosa merupakan polimer hidrofobik inert, tak berasa, tak berbau, tak berwarna, serta inert secara fisiologis. Etil selulosa telah banyak digunakan sebagai bahan tambahan pada berbagai sediaan farmasi. Penggunaannya antara lain sebagai bahan pelapis tablet dan granul, sebagai bahan mikrokapsul, sebagai pengikat, dan sebagai pelapis serta matriks pada sediaan lepas lambat (Taofik, 2004).

    Etil selulosa merupakan ester selulosa yang dibuat dengan mereaksikan etil klorida dengan alkali selulosa. Etil selulosa berbentuk serbuk putih kecoklatan, tidak berbau, tidak berasa, sering digunakan sebagai bahan pengikat dan bersifat mudah mengalir sehingga dapat berfungsi sebagai filler binder (Rina, 2006).


 

  1. Mikroenkapsulasi

    Mikroenkapsulasi merupakan teknik untuk menyalut suatu senyawa (dapat berupa padatan, cairan, maupun gas) dengan suatu polimer yang berukuran sangat kecil (mikron). Enkapsulasi dalam ukuran kecil memiliki banyak keuntungan, antara lain melindungi senyawa dari penguraian dan mengendalikan pelepasan senyawa aktif, misalnya obat. Pelepasan obat terkendali dilakukan agar penggunaan obat lebih efisien, untuk memperkecil efek samping, serta untuk mengurangi frekuensi penggunaan obat. Senyawa aktif yang dienkapsulasi umumnya yang mudah bereaksi dengan senyawa lain atau cenderung tidak stabil, atau memiliki waktu paruh eliminasi yang singkat. Proses enkapsulasi juga memungkinkan pengubahan bentuk suatu senyawa cairan menjadi padatan.. Senyawa aktif dapat terletak tepat di tengah-tengah kapsul dan bertindak sebagai intinya (Gambar 1a), atau tersebar di seluruh kapsul atau tidak terpusat pada satu titik saja (Gambar 1b).


     

    1. (b)


     

    Gambar 1 Ilustrasi persebaran senyawa aktif tepat di tengah kapsul (a), tersebar di seluruh kapsul (b).


     

    Polimer yang bisa digunakan pada proses enkapsulasi suatu senyawa aktif adalah yang bersifat biokompatibel dan biodegradabel. Hal ini dikarenakan kapsul yang dihasilkan akan dimasukkan ke dalam tubuh baik secara oral maupun dengan implantasi. Selain itu, polimer sebagai penyalut tidak boleh bereaksi secara kimia dengan senyawa aktif yang disalut. Contoh polimer yang dapat digunakan untuk proses enkapsulasi adalah alginat, kitosan dan etilselulosa (Yoana, 2008).


 

4. Uji Dissolusi

Laju disolusi atau waktu yang diperlukan bagi obat untuk melarutkan dalam cairan pada tempat absorpsi, merupakan tahap yang menentukan laju proses absorbsi. Ini bener-benar untuk obat-obat yang diberikan secara oral bentuk padat seperti tablet. Akibatnya laju disolusi dapat mempengaruhi onset, intesitas, dan lama respons, serta kontrol bioavailaibilitas obat tersebut keseluruhan dari bentuk sediaannya (Ansel, 1989).

Uji ini digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing monografi. Dari jenis alat penggunaannya dari salah satu sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi yaitu:


 


 

a. Tipe keranjang

Alat terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 37° ± 0,5°C selama pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap.


 

b. Tipe dayung

Bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi spesifikasi. Jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan salut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan.

Waktu bila dalam spesifikasi hanya terdapat satu waktu, pengujian dapat diakhiri dalam waktu yang lebih singkat bila persyaratan jumlah minimum yang terlarut telah dipenuhi. Bila dinyatakan dua waktu atau lebih, cuplikan dapat diambil hanya pada waktu yang ditentukan dengan toleransi ± 2% (Dirjen POM, 1994).

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan biasanya diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat, yang berkaitan dengan formulasi sediaan, dan faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji (Iin, 2010).


 


 


 


 


 

5. Faktor yang mempengaruhi pengujian disolusi

5.1 Faktor Lingkungan Selama Uji Dissolusi

- Intesitas pengadukan, kecepan dan tipe aliran cairan, serta faktor geometri.

-     Gradien konsentrasi (perbedaan konsentrasi antara kelarutan obat dalam medium disolusi dan konsentrasi rata-rata dalam ruahan cairan)

-     Komposisi medium disolusi, pH, kekuatan ion, viskositas, tegangan permukaan, dan sebagainya. Semua penting dan memerlukan komposisi medium.

-     Temperatur dari medium disolusi. (Iin, 2010)


 

5.2 Formulasi Medium Disolusi

Idealnya, medium diisolusi diformulasi sedekat mungkin dengan pH in vivo yang diantisipasi. Sebagai contoh, medium disolusi yang didasarkan pada 0,1 N HCl digunakan untuk menurunkan pH mendekati pH lambung. Hal ini disebabkan pH lambung manusia berada disekitar nilai 1-3. Cairan disolusi lambung dapat pula digunakan. Makanan dapat meningkatkan pH lambung sampai 3-5 (Iin, 2010).


 

  1. METODE

Etil selulosa (1,8 g) dilarutkan 30ml aceton dalam beaker glass


 

Propranolol hidroklorida (1,8 g) didispersikan ke dalam larutan etil selulosa dan diemulsikan dalam 120 ml paraffin liquidum yang mengandung 2% Tween 80


 

Emulsi diaduk dalam homogeneser dengan kecepatan 3000 rpm pada temperatur ruang sampai seluruh aceton menguap.


 

Mikrokapsul dikumpulkan melalui dekantasi dan dicuci dua kali dengan n-heksan untuk menghilangkan parafin liquidum yang melekat.


 

Setelah itu disaring dan dikeringkan dalam oven pada suhu 400C selama 2 jam


 

Mikrokapsul propranolol hidroklorida dibuat dalam 3 formulasi dengan perbandingan inti dan polimer yaitu 1:1, 1:2, dan 1:3.

Uji Disolusi Secara In Vitro

Serbuk propanolol dan kapsul propanolol dimasukan dalam alat uji disolusi (Erweka DT4) dalam medium dapar asam klorida pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,8


 

Volume medium digunakan sebanyak 900 ml pada suhu 37±0,50C


 

Kecepatan putaran pengaduk diatur sebanyak 50 rpm


 

Alikot diambil pada rentang waktu 0,25; 0,5; 0,75; 1; 2; 4; 6; dan 8 jam


 

        Sampel dianalisa dengan menggunakan spektrofotometri


 

  1. HASIL

    Tujuan dari penelitian diatas adalah untuk mendapatkan sediaan mikroenkapsul yang memiliki daya pelepasan zat aktifnya yang berupa propranolol menjadi lebih lambat . mengingat propranolol yang berfungsi sebagai obat anti hipertensi. Karena pada sediaan yang sudah ada propranolol memiliki daya larut dalam tubuh hanya 2-6 jam. Sehingga untuk mempermudah konsumen dibuatlah sedian mikroenkapsulasi dengan metode penguapan pelarut sehingga obat memiliki waktu paruh yang lebih lama.

    Pada penelitiian ini diawali dengan penentuan kondisi optimum proses mikroenkapsulasi propranolol hidroklorida yang mencakup penentuan kecepatan pengadukan, konsentrasi emulgator, perbandingan pelarut dengan fase pembawa dan lama proses pengadukan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi keberhasilan pembentukan mikrokapsul dan hasil mikrokapsul yang diperoleh. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi bentuk dan ukuran dari mikrokapsul yang dihasilkan, pada pengadukan yang lambat akan dihasilkan mikrokapsul dengan ukuran partikel yang lebih besar karena selama proses pengadukan terbentuk tetesan-tetesan dengan ukuran yang besar sehingga ukuran mikrokapsul juga berukuran besar. Sebaliknya pada pengadukan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terbentuknya mikrokapsul dengan ukuran yang lebih kecil. Kesempurnaan penyalutan pada mikrokapsul juga dipengaruhi oleh lamanya pengadukan. Kondisi optimum yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan kecepatan pengadukanan 3000 rpm, emulgator sebanyak 2%, lama pengadukan 3 jam dan perbandingan fase dalam dan fase pembawa 1:4. Untuk percobaan kali ini dibuat 3 formula sekaligus yaitu dengan perbandingan antara inti terhadap penyalut yaitu masing-masing 1:1, 1:2, dan 1:3.

    Proses ini dimulai dengan proses penguapan pelarut, proses terbentuknya mikrokapsul dimulai dengan memisahnya emulsi tetesan fase terdispersi dalam fase pembawa membentuk droplet kecil. Apabila pengadukan dihentikan maka akan terlihat mikrokapsul yang terbentuk turun ke dasar wadah. Dalam pembuatan mikrokapsul dengan metoda penguapan pelarut ini, digunakan tween 80 yang berguna untuk membantu proses mikroenkapsulasi dengan menurunkan tegangan antar muka. Jumlah tween 80 yang digunakan dapat divariasikan, tetapi dari hasil optimasi pada percobaan pendahuluan didapatkan konsentrasi optimum sebesar 2%.

    Hasil SEM menunjukkan perbedaan bentuk dan morfologi permukaan propranolol hidroklorida yang berupa kristal tidak beraturan degan mikrokapsul propranolol yang mendekati bulat. Distribusi ukuran partikel dari ketiga formula yang digunakan berada pada kisarn 425->850 mikron.

    Perbedaan distribusi ukuran partikel ini dipengaruhi oleh selulosa yang digunakan untu pembuatan dinding mikrokapsul. Dari hasil yang didapat dari uji invitro menunjukkan adanya menurunnya kecepatan pelepasan propranolol hidroklorida dari mikrokapsul dibanding serbuk propranolol hidroksida. Hal tersebut dapat diihat pada gambar 3, yang menunjukkan adanya penurunan pelepasan propranolol dari mikrokapsul disebabkan karena adanya etil selulosa yang bersifat hidrofobik yag tidak larut dalam air. sehingga tidak larut dalam air dan sulit mengembang, akibatnya penetrasi cairan untuk berifusi lebih lambat dan kecil. Oleh karena itu waktu yang dibutuhkan untuk melepaskan sejumlah obat menjadi lebih lama. Hal tersebut membuktikan bahwa obat larut air yang dimikroenkapsulasi dengan polimer tidak larut air, dapat dihambat pelepasannya dari mikrokapsul. Ketebalan, kekerasan dan struktur pada permukaan penyalut (berpori atau tidak berpori) serta ukuran mikrokapsul juga dapat mempengaruhi kecepatan pelepasan obat.


     


     


     


     


     


     


     

DAFTAR PUSTAKA


 

Ansel,H.C. 1989. Pengatar Bentuk sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: UI Press.


 

AIACHE JM, Devissaquet J. 1993. Farmasetika 2- BIOFARMASI- Edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press.


 

Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.


 

Katzung G.B. 1994. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.


 

Kee, Joyce L. dan Evelyn R. Hayes. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Terjemahan oleh Peter Anuerah. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC.


 

Kuswahyuninga, Rina. 2006. Pengaruh Kadar dan Interaksi Etil Selulosa dan Magnesium Stearat Terhadap Sifat Fisik Massa Tablet Propanolol HCl. Sains dan Sibernatika, Vol. 19 No.1.


 

Lestari, Iin. 2010. Uji Disolusi Prednison Pada Sediaan Tablet. Medan: FF USU.


 

Nova, Yoana Rosalita. 2008. Emulsifikasi Untuk Mikroenkapsulasi Propranolol Hidroklorida Dengan Penyalut Alginat. Tesis tidak diterbitkan. Bogor: FMIPA IPB.


 

Rusdiana, Taofik,Et Al. 2004. Formulasi Tablet Lepas Lambat Kuinin Sulfat Menggunakan Berbagai Konsentrasi Matriks Etilselulosa N10 Dengan Metode Granulasi Basah. Farmaka, Vol.2 No. 2, hal 12-20.

Read more »

PENGARUH POLIVINIL PIROLIDON TERHADAP LAJU DISOLUSI FUROSEMID DALAM SISTEM DISPERSI PADAT


PENGARUH POLIVINIL PIROLIDON TERHADAP LAJU DISOLUSI FUROSEMID DALAM SISTEM DISPERSI PADAT
 
  1. TINJAUAN PUSTAKA
    I.1. Furosemid
    Furosemid merupakan obat golongan diuretika kuat yang efektif untuk pengobatan udem akibat gangguan jantung, hati, atau ginjal dan hipertensi. Furosemid mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C12H11ClN2O5S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan (Anonim a, 1995).
    Pemerian     : serbuk hablur, putih sampai hampir kuning, tidak berbau.
    Kelarutan : praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton dalam dimetilformamida, dan dalam larutan alkali hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam etanol ; sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam kloroform.
    Wadah dan penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, tidak tembus cahaya (Anonim a, 1995)
    Titik lebur    : 2060 C (Sutriyo, 2005)
Read more »

Bahan kimia sintetik yang ditambahkan pada obat tradisional

FARMAKOGNOSI

Obat tradisional dan tanaman obat banyak dimanfaatkan masyarakat menengah kebawah.sementara ini banyak masyarakat beranggapan bahwa penggunaan oabat tradisional relatif lebih aman dibandingkan oabat sintetik. Agar penggunaannya optimal, perlu diketahui informasi mengenai kelebihan dan kekurangan serta kemungkinan penyalahgunaan obat tradisional dan tanaman obat.

Sebagaimana halnya obat-obat sintetik, obat tradisional (OT) seringkali disalahgunakan oleh oknum tertentu. Diantaranya yang sering terjadi adalah kasus tujuan pemakaian (jamu terlambat dating bulan dicampur dengan jamu pegal linu untuk abortus) dan yang lebih luas lagi adalah penyalahgunaan pada proses penyiapan/produksi denagn cara menambahkan zat kimia tertentu/obat keras untuk mempercepat dan mempertajam khasiat/efek farmakologisnya sehingga dikatakan jamunya "lebih manjur", mujarab, dan lain-lain. Pada kasus lain, ada juga penyalahgunaan OT dengan cara dioplos bersama produk lain yang beralkohol ( seperti konsumsi anggur jamu yang umumnya dilakukan oleh para remaja).

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (Peringatan, Nomor : KH.00.01.43.2773, Tanggal 2 Juni 2008) Tentang Obat Tradisional Mengandung Bahan Kimia Obat terdapat 54 (lima puluh empat) item prodk obat tradisional yang dicampur dengan bahan kimia obat keras yaitu

  • Sibutramin Hidroklorida : meningkatkan tekanan darah (hipertensi), denyut jantung dan sulit tidur. Tidak boleh diberikan pada penderita arteri koroner, gagal jantung kongestif, aritmia atau stroke. OT : Sela Kapsul, Langsing Ayu Sing Ayu Kapsul.
  • Sildenafit Sitrat : menyebabkan sakit kepala, pusing, dyspepsia, mual, nyeri perut, gangguan penglihatan, rhinitis, infark miokard, nyeri dada, palpitasi dan kematian. OT : Bima Kudra Tablet, Ajib Kapsul, dan 6 merek obat tradisional lainnya terlampir pada lampiran BPOM.
  • Siproheptadin: mual, muntah, mult kering, diare, anemia hemolitik, leucopenia, agranulositosis, dan trombositopenia. OT : Ganoderma Capsule, Neo Gemuk Sehat Merk F.Munir TR.993202281, TR.993202282, TR. 993202283.
  • Fenilbutason : mual, muntah, ruam kulit, retensi cairan dan elektrolit ( edema), pendarahan lambung, nyeri lambung, perforasi, reaksi hepersensitivitas, hepatitis, nefritis, gagal ginjal, leucopenia, anemia aplastik, agranulositosis, dan lain-lain. OT : Pacegin Kapsul Alami TR.043336341, Akar Baru Cina Tablet, dan 16 merek obat tradisional lainnya terlampir pada lampiran BPOM.
  • Asam Mafenamat : mengantuk, diare, ruam kulit, trombositopenia, anemia hemolitik dan kejang serta dikontraindikasikan bagi penderita tukak lambung/usus, asma dan ginjal. OT: Chuifong Toukuwan Pil.
  • Prednison : menyebabkan moon face, gangguan saluran cerna (mual, tukak lambung), gangguan musculoskeletal (osteoporosis), gangguan endokrin (gangguan haid), gangguan neuropsikiatri (ketergantungan psikis, depresi dan insomnia), gangguan penglihatan (glaucoma) dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. OT : Sari Jagat Manjur Rheumatik Kapsul.
  • Metampiron : menyebabkan gangguan saluran cerna ( mual, pendarahan lambung, rasa terbakar), gangguan system saraf (tinnitus dan neuropati), gangguan darah (pembentukan sel darah merah dihambat, agranulositosis), gangguan ginjal, syok, kematian. OT : Serbuk Dewa, Kharisma Sehat Pria Dan Wanita Serbuk, dan 4 merek obat tradisional lainnya terlampir pada lampiran BPOM.
  • Teofilin : menyebabkan takikardi, aritmia, palpitasi, mual, gangguan saluran cerna, sakit kepala dan insomnia. OT : Sesak Nafas Serbuk, Cakra Sehat Sesak Nafas Serbuk.
  • Parasetamol : penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan hati. OT : Asam Urat Flu Tulang Cap Onta Kapsul, Ramuan Cina Kapsul dan 21 merek obat tradisional lainnya terlampir pada lampiran BPOM.

OT dapat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam upaya preventif dan prmotif bila digunakan secara tepat. Ketepatan tersebut menyangkut dosis, cara, dan waktu penggunaan serta pemilihan bahan ramuan yang sesuai dengan indikasi penggunaannya. Sebaliknya OTpun dapat berbahaya bagi kesehatan bila kurang tepat penggunaanya (cara, taharan, dosis maupun bahan ramuan) atau memeng sengaja disalahgunakan.


 

Read more »

27 June 2011

REKRISTALISASI, PEMBUATAN ASPIRIN DAN PENENTUAN TITIK LELEH

1.      TUJUAN PERCOBAAN
1.      Melakukan teknik rekristalisasi dengan baik
2.      Menentukan pelarut yang sesuai untuk rekristalisai
3.      Menghilangkan pengotor melalui teknik rekristalisasi
4.      Melakukan pembuatan aspirin dengan cara asetilasi terhadap gugus fenol
5.      Menentukan titik leleh senyawa

2.      KAJIAN TEORI
1.      Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan cara yang paling efektif untuk memurnikan zat – zat organik dalam bentuk padat. Oleh karena itu teknik ini secara rutin digunakan untuk pemurnian senyawa hasil sintesis atau hasil isolasi dari bahan alami, sebelum dianalisis lebih lanjut, misalnya dengan instrumebn spektoskopi seperti UV, IR, NMR, dan MS.
Sebagai metoda pemurnian padatan, rekristalisai memiliki sejarah yang panjang seperti distilasi. Wa;aupun beberapa metoda yang lebih rumit telah dikenalkan, rekristalisasi adalah metoda yang paling penting untuk pemurnian sebabkemudahannya ( tidak perlu alat khusus ) dank arena keefektifannya. Ke depannya rekristalisasi akan tetap metoda standar untuk memurnikan padatan.
Metoda ini sederhana, material padayan ini terlarut dalam pelarut yang cocok pada suhu tinggi ( pada atau dekat titik didih pelarutnya ) untuk mendapatkan jumlah larutan jenuh atau dekat jenuh. Ketika larutan panas perlahan didinginkan, Kristal akan mengendap karena kelarutan padatan biasanya menurun bila suhu diturunkan. Diharapkan bahwa pengotor tidak akan pengkristal karena konsentrasinya dalam larutan tidak terlalu tinggi untuk mencapai jenuh.
Walaupun rekristalisasi adalah metoda yang sangat sederhana, dalam prakteknya bukan berarti mudah dilakukan. Adapun saran – saran yang dibutuhkan untuk melakukan metoda kristalisai adalah sebagai berikut :
1.      Kelarutan material yang akan dimurnikan harus memiliki ketergantungan yang besar pada suhu. Misalnya, ketergantungan pada suhu NaCl hamper dapat diabaikan. Jadi pemurnian NaCl dengan rekristalisasi tidak dapat dilakukan.
2.      Kristal tidak harus mengendap dari larutan jenuh dengan pendinginan karena mungkin terbentuk super jenuh. Dalam kasus semacam ini penambahan Kristal bibt, mungkin akan efektif. Bila tak ada Kristal bibit, menggaruk dinding mungkin akan berguna.
3.      Untuk mencegah reaksi kimia antara pelarut dan zat terlarut, penggunaan pelarut non polar lebih disarankan. Namun, pelarut non polar cenderung merupakan pelarut yang buruk untuk senyawa polar.
4.      Umumnya, pelarut dengan titik didih rendah lebih diinginkan. Namun sekali lagi pelarut dengan titik didih lebih rendah biasanya non polar. Jadi, pemilihan pelarut biasanya bukan masalah sederhana

Adapun tahap – tahap yang dilakukan pada proses rekristalisasi pada umumnya, yaitu :
1.      Memilih pelarut yang cocok
Pelarut yang umum digunakan jika dirutkan sesuai dengan kenaikan kepolarannya adalah petroleum eter ( n-heksan , toluene, kloroform, aseton, etil asetat, etanol, methanol, dan air. Pelarut yang cocok untuk merekristalisasi suatu sampel zat tertentu adalah pelarut yang dapat melarutkan secara baik zat tersebut dalam keadaan panas, tetapi sedikit melarutkan dalam keadaan dingin.
2.      Melarutkan senyawa ke dalam pelarut panas sedikit mungkin
Zat yang akan dilarutkan hendaknya dilarutkan dalam pelarut panas dengan volum sedikit mungkin, sehingga diperkirakan tepat sekitar titik jenuhnya. Jika terlalu encer, uapkan pelarutnya sehingga tepat jenuh. Apabila digunakan kombinasi dua pelarut, mula – mula zat itu dilarutkan dalam pelarut yang baik dalam keadaan panas sampai larut, kemudian ditambahkan pelarut yang kurang baik tetes demi tetes sampai timbul kekeruhan. Tambahkan beberapa tetes pelarut yang baik agar kekeruhannya hilang kemudian disaring.
3.      Penyaringan
Larutan disaring dalam keadaan panas untuk menghilangkan pengotor yang tidak larut. Penyaringan larutan dalam keadaan panas dimaksudkan untuk memisahkan zat – zat pengotor yang tidak larut atau tersuspensi dalam larutan, seperti debu, pasir, dan lainnya. Agar penyaringan berjalan cepat, biasanya digunakan corong Buchner. Jika larutannya mengandung zat warna pengotor, maka sebelum disaring ditambahkan sedikit ( ± 2 % berat ) arang aktif untuk mengadsorbsi zat warna tersebut. Penambahan arang aktif tidak boleh terlalu banyak karena dapat mengadsorbsi senyawa yang dimurnikan.
4.      Pendinginan filtrate
Filtrat didinginkan pada suhu kamar sampai terbentuk Kristal. Kadang – kadang pendinginan ini dilakukan dalam air es. Penambahan umpan ( seed ) yang berupa Kristal murni ke dalam larutan atau penggoresan dinding wadah dengan batang pengaduk dapat mempercepat rekristalisasi.
5.      Penyaringan dan pendinginan Kristal
Apabila proses kristalisasi telah berlangsung sempurna, Kristal yang diperoleh perlu disaring dengan cepat menggunakan corong Buchner. Kemudian Kristal yang diperoleh dikeringkan dalam eksikator.
2.      Aspirin
Aspirin ( asetosal ) adalah suatu ester dari asam asetat dengan asam salisilat. Oleh karena itu senyawa ini dapat dibuat dengan mereaksikan asam salisilat dengan anhidrida asam asetat menggunakan asam sulfat pekat sebagai katalisator.
 Asam asetat dengan nama sistematik asam etanoat, CH3COOH, merupakan cairan tidak berwarna, berbau tajam, dan berasa asam. Asam asetat larut dalam air dan pelarut organik lainnya. Di dalam air, asam asetat bertindak sebagai asam lemah. Asam asetat mendidih pada temperatur 118°C (245°F) dan meleleh pada 17°C (62°F). Asam asetat biasanya dibuat dengan memfermentasikan alkohol dengan bantuan bakteri, seperti Bacterium aceti. Untuk mendapatkan asam asetat yang berkonsentrasi tinggi, biasanya dibuat dengan oksidasi asetaldehida atau dengan mereaksikan methanol dengan karbon monoksida dengan bantuan katalis.
Asam salisilat dapat ditemukan pada banyak tanaman dalam bentuk metal salisilat dan dapat disintesa dari fenol. Asam salisilat memiliki sifat-sifat: berasa manis, membentuk kristal berwarna putih, sedikit larut dalam air, meleleh pada 158,5°C – 161°C. Asam salisilat biasanya digunakan untuk memproduksi ester dan garam yang cukup penting. Asam salisilat menjadi bahan baku pembuatan aspirin. Sintesa asam salisilat yang terkenal adalah Sintesis Kolbe.
Asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal sekarang sebagai aspirin memiliki nama sistematik 2 – acetoxybenzoic acid. Aspirin yang merupakan bentuk salah satu aromatic asetat yang paling dikenal dapat disintesa dengan reaksi esterifikasi gugus hidroksi fenolat dari asam salisilat dengan menggunakan asam asetat. Aspirin memiliki sifat – sifat sebagai berikut : Mr = 180, titik leleh = 133,4°C, dan titik didih = 140°C.
Pada pembuatan aspirin, reaksi yang terjadi adalah reaksi esterifikasi. Reaksi esterifikasi tersebut dapat dilihat dari gambar di atas, dengan penjelasan sebagai berikut :
Ester dapat terbentuk salah satunya dengan cara mereaksikan alkohol dengan anhidrida asam. Dalam hal ini asam salisilat berperan sebagai alkohol karena mempunyai gugus –OH, sedangkan asam asetat glacial sebagai anhidrida asam. Ester yang terbentuk adalah asam asetil salisilat ( aspirin ). Gugus asetil ( CH3CO– ) berasal dari asam asetat, sedangkan gugus R-nya berasal dari asam salisilat. Hasil samping reaksi ini adalah asam asetat. Langkah selanjutnya adalah penambahan asam sulfat pekat yang berfungsi sebagai zat penghidrasi. Telah disebutkan di atas bahwa hasil samping dari reaksi asam salisilat dan asam asetat glacial adalah asam asetat. Jadi, dapat dikatakan reaksi akan berhenti setelah asam salisilat habis karena adanya asam sulfat pekat ini.
Aspirin bersifat analgesik yang efektif sebagai penghilang rasa sakit. Selain itu, aspirin juga merupakan zat anti-inflammatory, untuk mengurangi sakit pada cedera ringan seperti bengkak dan luka yang memerah. Aspirin juga merupakan zat antipiretik yang berfungsi untuk mengurangi demam. Tiap tahunnya, lebih dari 40 juta pound aspirin diproduksi di Amerika Serikat, sehingga rata-rata penggunaan aspirin mencapai 300 tablet untuk setiap pria, wanita serta anak-anak setiap tahunnya. Penggunaan aspirin secara berulang-ulang dapat mengakibatkan pendarahan pada lambung dan pada dosis yang cukup besar dapat mengakibatkan reaksi seperti mual atau kembung, diare, pusing dan bahkan berhalusinasi. Dosis rata-rata adalah 0.3-1 gram, dosis yang mencapai 10-30 gram dapat mengakibatkan kematian.
3.      Titik Leleh
Yang dimaksud titik leleh suatu senyawa ialah suhu dimana senyawa tersebut mulai meleleh. Senyawa – senyawa murni suhunya hampir tetap selama meleleh atau disebut juga mempunyai titik leleh yang tajam, misalnya 125,5° - 126° atau 180° - 181°, sedangkan untuk cuplikan yang sama tetapi tidak murni akan meleleh pada interval suhu yang lebar, missal 123° – 126° atau 176° – 180°. Pengotoran yang menyebabkan penurunan titik leleh ini mungkin sekali suatu bahan berbentuk resin yang tidak diidentifikasi atau senyawa lain yang mempunyai titik leleh lebih rendah atau lebih tinggi dari senyawa utamanya. Bila suatu senyawa A yang murni meleleh pada suhu 150° – 151° dan senyawa B murni meleleh pada suhu 120° – 121°, maka bila senyawa A ditambah senyawa B, campuran ini akan meleleh secara tidak tajam pada daerah suhu di bawah 150°. Sebaliknya bila senyawa B ditambah sedikit senyawa A, campuran ini akan meleleh di atas suhu 120°.
Kriteria kemurnian suatu zat adalah titik lelehnya yang tajam, disamping itu jika kita mempunyai senyawa – senyawa baku, maka ditentukan dengan menentukan titik leleh campuran. Mula – mula senyawa baku ditentukan titik lelehnya kemudian senyawa yang tidak diketahui dicampur dengan senyawa baku, lalu titik lelehnya ditentukan lagi. Bila titik leleh campuran sama dengan titik leleh senyawa baku, berarti senyawa yang tak diketahui itu sama dengan senyawa tersebut.
Alat penentu titik leleh ada beberapa macam mulai yang manual hingga digital seperti thiele, Fisher John Melting point apparatus, blok logam atau dengan system digital.

3.      ALAT dan BAHAN
ALAT
1.      Erlenmeyer
2.      Spatula
3.      Corong Buchner
4.      Pipet tetes
5.      Kompor listrik
6.      Termometer
7.      Melting block
8.      Pipa kapiler
9.      Lumpang + alu
10.  Kaca arloji

BAHAN
1.      Asam salisilat
2.      Asam asetat glacial
3.      Asam sulfat pekat
4.      Etanol 96 %
5.      Larutan FeCl3
6.      Aquades
 







5.      DATA HASIL PENGAMATAN
REKRISTALISASI
No
Perlakuan
Hasil Pengamatan
Sebelum
Sesudah
1

1 gram asam salisilat dan 100 mL aquadest dimasukkan dalam Erlenmeyer 125 mL
Asam salisilat = Kristal putih
Aquadest = jernih
Campuran tidak homogen
2
Campuran dipanaskan di atas kompor listrik samapai mulai mendidih sambil sedikit diguncang Campuran tidak homogen Campuran homogen
3
Campuran yang telah dipanaskan disaring dengan kertas saring dan filtratnya dipanaskan kembali sampai mulai mendidih Campuran homogen Campuran homogen
4
Campuran didinginkan sampai terbentuk Kristal Campuran homogen Pada campuran terbentuk Kristal berbentuk jarum berwarna putih
5
Kristal yang terbentuk disaring dengan corong Buchner yang dilengkapi labu hisap
Kristal berbentuk jarum berwarna putih
6
Kristal dikeringkan dalam eksikator
Massa = 1,3 gram
7
Menghitung titik leleh
·         Kristal dihaluskan

·         Sampel dimasukkan dalam pipa kapiler

·         Pipa kapiler yang berisi sampel dimasukkan dalam melting block yang dilengkapi termometer

Kristal berbentuk jarum putih

Serbuk putih halus


Sampel mulai meleleh pada suhu 121°C
Sampel meleleh seluruhnya pada suhu 129°C

PEMBUATAN ASPIRIN
No
Perlakuan
Hasil Pengamatan
Sebelum
Sesudah
1
2,5 gram dimasukkan dalam Erlenmeyer
·         Ditambah 3,75 gram CH3COOH glacial
·         Ditambah 2,5 tetes H2SO4 pekat
Campuran diaduk kenudian dipanaskan
Asam salisilat = Kristal putih
CH3COOH glacial = Kristal putih
H2SO4 pekat = jernih



Campuran homogen
2
Campuran yang telah dipanaskan kemudian didinginkan.
·         Ditambah 75 mL air air sambil diaduk
·         Endapan yang terbentuk disaring
Air = jernih
Residu = Kristal putih
Filtrat = jernih
3
Melakukan rekristalisasi
·         Campuran ditambah 7,5 mL etanol dan 25 mL air
·         Campuran dipanaskan
·         Campuran didiamkan sampai terbentuk Kristal


·         Kristal disaring menggunakan corong Buchner yang dilengkapi labu hisap
·         Kristal disimpan dalam eksikator

Etanol = jernih



·         Campuran homogen
·         Kristal berbentuk jarum berwarna putih
4
Menghitung titik leleh
·         Kristal dihaluskan


·         Sampel dimasukkan dalam pipa kapiler
·         Pipa kapiler yang berisi sampel dimasukkan dalam melting block yang dilengkapi termometer

Kristal berbentuk jarum berwarna putih

Kristal menjadi serbuk halus

Sampel mulai meleleh pada suhu 131°C
Sampel meleleh seluruhnya pada suhu 139°C
5
Uji identifikasi aspirin
Kristal yang terbentuk ditetesi FeCl3
FeCl3 = kuning jernih Kristal berwarna = ungu kehitaman

6.      ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1.      REKRISTALISASI
Langkah pertama dalam melakukan rekristalisasi adalah mencampur 1 gram asam salisilat dan 100 mL air dalam Erlenmeyer. Sebelum dicampur, asam salisilat berbentuk Kristal putih dan air jernih tidak berwarna . Setelah dicampur, campuran belum homogen dan setelah itu campuran dipanaskan sampai mulai mendidih. Setelah itu, campuran disaring dalam keadaan panas yang bertujuan untuk memisahkan zat – zat pengotor yang tidak larut atau tersuspensi dalam larutan. Kemudian filtratnya dipanaskan kembali sampai mulai mendidih. Setelah dipanaskan, campuran didiamkan sampai terbentuk Kristal. Kristal ini merupakan Kristal murni dari senyawa asam salisilat. Kristal yang terbentuk dikeringkan dalam eksikator. Berat asam salisilat setelah proses rekristalisasi adalah 1,3 gram. Dalam kasus ini, pelarut yang digunakan adalah air.
Setelah melakukan pengeringan terhadap Kristal asam salisilat, dilakukanlah perhitungan titik leleh dengan cara memasukkan Kristal yang dihaluskan ke dalam pipa kapiler. Kemudian pipa kapiler dimasukkan dalam melting block yang dilengkapi thermometer. Hasil yang didapat dari pemanasan ini adalah titik leleh asam salisilat sebesar 121°C – 129°C. Hasil ini sangat berbeda sekali dengan data yang didapat dari literature yaitu 158,5°C – 161°C. Hal ini terjadi dapat disebabkan karena adanya pengotor pada senyawa sehingga menyebabkan penurunan titik leleh. Pengotor yang ada pada senyawa asam memiliki titik leleh yang lebih kecil dari asam salisilat sehingga mengakibatkan asam salisilat meleleh secara tidak tajam pada suhu yang seharusnya.

2.      PEMBUATAN ASPIRIN
Pada percobaan ini pembuatan aspirin dilakukan dengan cara mencampurkan 2,5 gram asam salisilat dengan 3,75 gram asam asetat glacial dan 3 tetes asam sulfat pekat sebagai katalisator. Reaksi yang terjadi adalah reaksi esterifikasi yang merupakan prinsip dari pembuatan aspirin. Reaksi esterifikasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :




Ester dapat terbentuk salah satunya dengan cara mereaksikan alcohol dengan anhidrida asam. Dalam hal ini asam salisilat berperan sebagai alcohol karena mempunyai gugus –OH, sedangkan asam asetat glacial sebagai anhidrida asam. Ester yang terbentuk adalah asam asetil salisilat ( aspirin ). Gugus asetil ( CH3CO– ) berasal dari asam asetat, sedangkan gugus R-nya berasal dari asam salisilat. Hasil samping reaksi ini adalah asam asetat. Langkah selanjutnya adalah penambahan asam sulfat pekat yang berfungsi sebagai zat penghidrasi. Telah disebutkan di atas bahwa hasil samping dari reaksi asam salisilat dan asam asetat glacial adalah asam asetat. Jadi, dapat dikatakan reaksi akan berhenti setelah asam salisilat habis karena adanya asam sulfat pekat ini.
Sebelum dipanasakan, reaksi tidak benar – benar terjadi. Reaksi baru akan berlangsung dengan baik pada suhu 50-60°C. Pada percobaan ini baru terbentuk endapan putih ( aspirin ) setelah dipanaskan. Kemudian endapan tersebut dilarutkan dalam 75 mL air dan disaring untuk memisahkan aspirin dari pengotornya. Tetapi tentu saja, aspiring yang dihasilkan belum benar – benar murni. Untuk itu dilakukanlah rekristalisasi pada aspirin.
Rekristalisasi pada aspirin dilakukan dengan menambahkan 7,5 mL etanol dan 25 mL air kemudian campuran dipanaskan. Setelah dipanaskan, campuran didiamkan sampai terbentuk Kristal. Kristal disaring dengan corong Buchner yang dilengkapi labu hisap. Setelah itu Kristal dikeringkan dalam eksikator. Massa aspirin yang didapat adalah 3,2 gram.
Kemidian menghitung titik leleh aspirin. Dari hasil percobaan, titik leleh aspirin sebesar 131-134°C. Dan dari data literature, titik leleh aspirin seharusnya sebesar 133,4°C.
Untuk uji identifikasi aspirin dilakukan dengan cara menambahkan beberapa tetes FeCl3 ke dalam Kristal aspirin. Dari hasil percobaan, didapatkan Kristal aspirin berwarna ungu kehitaman setelah ditambah FeCl3. Hal ini tidak sesuai dengan teori karena jika aspirin ditambah FeCl3 seharusnya berwarna hijau. Ini terjadi karena masih adanya gugus fenolik pada aspirin.



7.      DISKUSI
1.      Hasil yang didapat adalah titik leleh asam salisilat sebesar 121°C – 129°C. Hasil ini sangat berbeda sekali dengan data yang didapat dari literatur yaitu 158,5°C – 161°C. Hal ini terjadi dapat disebabkan karena adanya pengotor pada senyawa sehingga menyebabkan penurunan titik leleh. Pengotor yang ada pada senyawa asam salisilat memiliki titik leleh yang lebih kecil dari asam salisilat sehingga mengakibatkan asam salisilat meleleh secara tidak tajam pada suhu yang seharusnya.
2.      Dari hasil percobaan, titik leleh aspirin sebesar 131-134°C. Dan dari data literatur, titik leleh aspirin seharusnya sebesar 133,4°C. Hal ini disebabkan pada Kristal aspirin masih terdapat pengotor yang mempengaruhi titik leleh aspirin.
3.      Pada uji identifikasi aspirin dilakukan dengan cara menambahkan beberapa tetes FeCl3 ke dalam Kristal aspirin. Dari hasil percobaan, didapatkan Kristal aspirin berwarna ungu kehitaman setelah ditambah FeCl3. Hal ini tidak sesuai dengan teori karena jika aspirin ditambah FeCl3 seharusnya tidak berwarna. Kesalahan terjadi pada awal tahap pembuatan aspirin. Seharusnya aspirin dibuat dari anhidrida asam asetat bukan dari asam asetat glacial. Warna ungu terjadi karena masih adanya gugus fenolik pada aspirin.

8.      KESIMPULAN
1.      Aspirin dapat dibuat dengan cara mencampur asam salisilat dengan asam asetat glacial dengan katalis asam sulfat pekat. Aspirin yang dihasilkan berupa Kristal panjang berbentuk seperti jarum.
2.      Titik leleh aspirin yang dihasilkan adalah sebesar 131-134°C dan asam salisilat adalah 121-129°C
3.      Pelarut yang digunakan untuk rekristalisasi aspirin adalah etanol.

9.      TUGAS
1.      Terangkan prinsip dasar rekristalisasi !
Prinsip dasar rekristalisasi adalah cara yang paling efektif untuk memurnikan zat – zat organik dalam bentuk padat
2.      Sebutkan urutan kerja yang harus dilakukan dalam pekerjaan rekristalisasi !
jawaban
3.      Sifat sifat apakah yang harus dipunyai oleh suatu pelarut agar dapat digunakan untuk mengkristalisai suatu senyawa organik tertentu ?
jawaban
4.      Sebutkan paling sedikit dua alasan mengapa penyaringan dengan labu isap lebih disukai dalam memisahkan Kristal dari induk lindinya !
jawaban
5.      Hitung prosentase perolehan senyawa hasil rekristalisasi yang Anda lakukan !
jawaban
6.      Tulis mekanisme reaksi pembuatan aspirin secara lengkap !
Jawaban


7.      Apakah yang disebut asetilasi dan apakah fungsi asam sulfat ?
Asetilasi adalah proses masuknya radikal asetil ke dalam molekul senyawa organic yang mengandung gugus –OH, dimana kita harus mereaksikan antara asam salisilat dan asam asetat dengan menggunakan asam sulfat pekat sebagai katalisator.
8.      Apakah fungsi FeCl3 dalam reaksi tersebut dan jelaskan bagaimana membuktikan terbentuknya aspirin ?
jawaban
9.      Hitung rendemen hasil percobaan yang diperoleh !
Jawaban

Daftar Pustaka
Fessenden & Fessenden.1987.Kimia Organik Jilid 2. Jakarta : Erlangga
Tim Penyusun. 2008. Penuntun Praktikum Kimia Organik 1. Surabaya : UNESA Press
http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/metoda-pemisahan-standar

Read more »

26 June 2011

Aneka Manfaat dari Barang Bekas Gunakan kreativitasmu


- Jangan Buang Gelas Retak
Gelas yang retak tidak layak digunakan untuk minum. Akan tetapi, jangan lekas dibuang. Dengan sentuhan cat pada gelas, dapat dimanfaatkan untuk wadah alat tulis atau alat-alat yang lainnya. Cara yang lebih mudah dengan menempelkan stiker yang menarik sesuai keinginan. Selamat mencoba!


- Manfaat Lain Sabun Sulfur
Sabun yang mengandung sulfur atau belerang banyak digunakan sebagai sabun kecantikan yang bisa membuat kulit menjadi lebih putih dan mengobati beberapa penyakit kulit. Namun, jika sudah mengecil jangan dulu dibuang, manfaatkan sebagai sabun pencuci sink, wastafel, dan lantai kamar mandi. Kandungan sulfur dalam sabun ternyata mampu melibas kotoran dan noda yang menempel.


- Lampion dari Kaleng Bekas
Kaleng bekas makanan ringan ternyata dapat digunakan sebagai lampion. Caranya, buang label kaleng, kemudian lubangi sesuai pola yang diinginkan. Setelah itu, tempatkan Win di tengah kaleng. Lampion dari kaleng bekas dapat dimanfaatkan untuk acara-acara diluar ruangan, misalnya pesta kebun.


- Memanfaatkan Payung Rusak
Payung yang rusak sebaiknya jangan lekas dibuang atau dijual ke tukang besi. Manfaatkan payung rusak tersebut untuk menjemur pakaian bayi. Caranya, buang semua bahan perasut yang menyelubungi rangka payung. Gantungkan payung dengan posisi terbalik. Nah pakaian bayi pun sudah bisa dijemur.


- Memanfaatkan Limbah Kayu
Limbah potongan kayu mirip buah yang diparut kasar. Limbah ini biasanya banyak terdapat di tukang kayu dan sering dibuang begitu saja. Padahal limbah ini memiliki manfaat sebagai bahan dasar kerajinan untuk menghias rumah. Salah satu contoh, rekatkan limbah kayu tersebut ke karton yang sudah Anda bentuk menjadi bingkai menggunakan lem kayu, sehingga menjadi sebuah bingkai yang cantik.


- Memanfaatkan Stik Sisa Es Krim
Jika anak Kita gemar makan es krim, terutama es krim stik, kayunya dapat dimanfaatkan untuk membentuk keranjang buah, tempat tisu, tempat dudukan telepon genggam atau figura foto. Caranya cukup mudah. Stik es krim disusun sedemikian rupa, kemudian dilem dengan menggunakan lem kayu. Kreasikan sesuai bentuk yang diinginkan.


- Manfaatkan Mozaik Keramik Pecah untuk Lantai
Barang yang pecah dan terlihat tidak berguna memiliki kegunaan lain dan keunggulannya sendiri. Jika digunakan dengan kreatif pada lantai atau dinding rumah, akan dihasilkan kesan mozaik yang cukup menawan. Keramik yang digunakan dari bekas bangunan dan keramik baru yang mengalami 'kecelakaan'. Warna-warna yang berlainan dari keramik-keramik ini justru bisa menjadi daya tarik utama yang elok dipandang.

Read more »

PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS KININ DALAM BENTUK SUPOSITORIA DAN TABLET PER-ORAL

Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya dibuat dengan penambahan bahan tambahan farmasetika yang sesuai. Tablet-tablet dapat berbeda-beda dalam ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, daya hancurnya, dan dalam aspek lainya tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya. Kebanyakan tablet digunakan dalam pemberian obat-obat secara oral, dan kebanyakan dari tablet ini dibuat dengan penambahan zat warna, zat pemberi rasa, dan lapisan-lapisan dalam berbagai jenis. Lapisan pelindung dipakai untuk melindungi zat obat terhadap pengaruh yang merusak dari kelembapan, cahaya dan udara selama periode penyimpanan atau untuk menyembunyikan rasa yang tidak enak atau pahit dari alat perasa pasien (Ansel, 2008).

    Supositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang pemakaiannya dengan cara memasukkan melalui lubang atau celah pada tubuh, dimana ia akan melebur, melunak atau melarut dan memberikan efek lokal atau sistemik. Supsitoria umumnya dimasukkan melalui rectum, vagina, kadang-kadang melalui saluran urine dan jarang melalui telinga dan hidung. Bentuk dan beratnya berbeda-beda. Bentuk dan ukurannya harus sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah dimasukkan kedalam lubang atau celah yang diinginkan tanpa menimbulkan kejanggalan dan penggelembungan begitu masuk harus dapat bertahan untuk suatu waktu tertentu.

    Untuk efek local, begitu dimasukkan basis supositorium meleleh, melunak, atau melarut menyebarkan bahan obat yang dibawanya ke jaringan-jaringan di daerah tersebut. Obat ini bisa dimasukkan untuk ditahan dalam ruang tersebut untuk efek kerja local, atau bisa juga dimasukkan agar diabsorbsi untuk mendapatkan efek sistemik. Supositoria rectal dimaksudkan untuk kerja lokal dan paling sering digunakan untuk menghilangkan konstipasi dan rasa sakit, iritasi, rasa gatal, dan sehubungan dengan wasir atau kondisi anorektal lainnya (Ansel, 2008).

    Untuk efek sistemik, membran mukosa rectum memungkinkan absorpsi dari kebanyakan obat yang dapat larut. Untuk mendapatkan efek sistemik, cara pemakaian melalui rectum mempunyai beberapa kelebihan daripada pemakaian secara oral yaitu: (a) obat yang dirusak atau dibuat tidak aktif oleh pH atau aktifitas enzim dari lambung atau usus tidak perlu dibawa atau masuk ke dalam lingkungan yang merusak ini, (b) obat yang merangsang lambung dapat diberikan tanpa menimbulkan rangsangan, (c) obat yang dirusak dalam sirkulasi portal, dapat tidak melewati hati setelah absorpsi (obat memasuki sirkulasi portal setelah absorpsi pada penggunaan secara oral), (d) cara ini lebih sesuai untuk digunakan oleh pasien dewasa dan anak-anak yang tidak dapat atau tidak mau menelan obat, (e) merupakan cara yang efektif dalam perawatan pasien yang suka muntah (Ansel, 2008).

    Konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Osser pada tahun 1945 yaitu pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai pertama kali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas pengertiannya dengan istilah bioavailabilitas. Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang bioavailabilitas dalam berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam konsep bioavailabilitas adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur penting dalam absorpsi obat yang perlu dipertimbangkan, yaitu :

1) kecepatan absorpsi obat

2) jumlah obat yang diabsorpsi

Kedua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang diinginkan dengan toksisitas yang minimal. Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan bagaimana seharusnya definisi tentang bioavailabilitas. Dua definisi berikut ini merupakan definisi yang relatif lebih sesuai dengan kedua faktor di atas adalah :

Definisi 1 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik (Prawiro, 2010).

Definisi 2 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi (Prawiro, 2010).

    Bioavailabilitas digunakan untuk menggambarkan besar dan laju absorbsi obat dari suatu bentuk sediaan seperti dicerminkan dengan suatu kurva konsentrasi-waktu dari obat yang diberikan dalam jaringan atau cairan biologis seperti darah dan urin. Data bioavailabilitas digunakan untuk menentukan : (1) jumlah atau proporsi obat yang diabsorbsi dari suatu formulasi atau bentuk sediaan, (2) laju atau kecepatan dimana obat tersebut diabsorbsi, (3) lama beradanya obat dalam cairan atau jaringan biologis dan bila berhubungan dengan respon pasien, (4) hubungan antara kadar obat dalam darah dan keefektifan obat atau efek toksisnya (Ansel, 2008).

    Quinin dan isomernya, quinidin, merupakan 6-metoksicinchonin. Biosintesis quinin diduga melalui proses pemecahan cincin benzopirol dari triptofan dan penyusunan kembali menjadi inti quinukleidin kemudian menjadi quinoilin. Data mengenai proses detail biosintesis quinin masih terbatas tetapi diduga melibatkan stristisidin dan corynantheal sebagai intermediet.

    Alkaloid cinchona dihasilkan oleh tanaman Cinchona succirubra, Cinchona ledgeriana dan Cinchona calisaya. Bagian yang dikumpulkan untuk memperoleh alkaloid adalah kulit batangnya.

    Untuk memperoleh alkaloid lebih banyak maka dilakukan hibridisasi antara Cinchona ledgeriana dan Cinchona calisaya sehingga cenderung tumbuh tinggi dengan cabang bawah gugur dan mahkota pohon tumbuh rapat sehingga menutupi percabangan. Percabangan yang terlindung ini bagus untuk menghasilkan quinin. Pohon usia 6-9 tahun memiliki kandungan alkaloid maksimum pada kulit kayunya. Saat kulit kayunya dikeringkan maka akan menghasilkan alkaloid 3 kali lebih banyak dari orang tuanya.

    Alkaloid ini dibentuk pada sel parenkim pada lapisan tengah kulit kayu. Cinchona mengandung 25 macam alkaloid yang mirip satu sama lain. Alkaloid cinchona yang penting diantaranya quinin, quinidin, cinchonin dan cinchonidin yang dapat mencapai 6-7% dimana 50-67% adalah quinin dari kulit kayu kina kuning. Dalam kulit kayu kina merah quinidin berada dalam jumlah lebih banyak, dapat mencapai 18% dari total alkaloid. Konstituen lain adalah asam cinchotanat sebanyak 2-4% yang terdekomposisi menjadi zat tidak larut air.

    Quinin adalah diastereoisomer quinidin. Quinin berbentuk kristalin putih, tidak berbau, bulky, rasa pahit dan berubah warna mejadi gelap apabila terpapar sinar matahari. Quinin dimanfaatkan sebagai antimalaria dan sampai saat ini masih merupakan antimalaria paling potensial. Aksi antimalaria quinin diduga melalui penyisipan quinin pada DNA parasit Plasmodium sehingga DNA tidak efektif sebagai templat. Bahan interkalasi seperti quinin memiliki molekul polisklik planar yang rigid yang dapat masuk diantara pasangan basa dari rantai ganda DNA. Walaupun khasiatnya dapat menyembuhkan malaria ternyata juga memiliki efek samping terhadap kesehatan manusia, seperti sakit kepala dan gangguan fungsi mata (Tim Penyusun, 2008).


 


 

    Kajian Perbandingan bioavailabilitas terhadap supositoria kina baru dan kina oral pada sukarelawan sehat


 

Saat ini diperlukan alternatif sediaan kinin yang pemakaiannya lebih nyaman pada malaria akut. Para peneliti dari Universitas Ibadan, Nigeria, melakukan penelitian yang bertujuan untuk membandingkan bioavailability (BA) dari supositoria kina yang terbuat dari Theobroma oil dengan kina tablet. Penelitian ini dilakukan dengan memberikan enam relawan sehat 300 mg supositoria kina sulfat dan tablet kina secara crossover. Kemudian konsentrasi kinin pada plasma darah dan urin ditentukan dengan spektroflourometri. Dari penelitian ini diketahui bahwa penyerapan supositoria kina lebih lambat, lebih bervariasi, dan lebih rendah daripada tablet kina.

Waktu konsentrasi maksimum (T max ), konsentrasi maksimum (C maks), daerah di bawah kurva (AUC) dan ekskresi urin kumulatif (Du) untuk kedua formulasi ini juga jauh berbeda, meskipun tidak ada perubahan dalam waktu paruh (t1/2). C maks dan nilai AUC tablet kina (2,32 ± 0,22 μ g / ml, 36,31 ± 10,06 µ g.h/ml) 4 sampai 5 kali lebih tinggi daripada supositoria kina(0,52 ± 0,37 μ g / ml, 7,69 ± 5,79 μ gh / ml).

    Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyerapan supositoria kurang baik, karena itu tidak mungkin untuk menggantikan kinin tablet dengan kinin supositoria pada dosis yang sama. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan peningkatan formulasi dan dosis untuk memperbaiki bioavailabilitas kinin supositoria.

Quinine adalah salah satu obat malaria yang paling mahal namun paling efektif. Quinin masih efektif mengatasi strain Plasmodium falciparum di Africa. Laporan terakhir menunjukkan bahwa kinin sama efektifnya dengan artemisinin dan turunannya dalam mengobati malaria cerebral pada anak-anak.

Pada malaria yang sulit disembuhkan sebaiknya diberikan injeksi intravena (iv) sampai pasien mampu menelan obat. Namun, rute pemberian ini tidak selalu dapat diterapkan pada pasien di daerah pedesaan karena kurangnya tenaga kesehatan yang terlatih serta tidak terjangkaunya fasilitas kesehatan. Rute pemberian adalah secara intramuscular (im), akan tetapi pemberian melalui rute ini sering menyebabkan rasa nyeri, komplikasi lokal, peradangan, abses, tetanus, dan cacat ekstremitas.

Pemberian secara oral efektif tetapi dapat menyebabkan mual dan juga tidak dapat diberikan kepada pasien yang koma. Oleh karena itu diperlukan cara pemberian obat yang lebih nyaman. Rute rektal biasanya digunakan pada pasien paediatric dan secara luas dinilai sebagai alternatif untuk rute parenteral.

Saat ini, artemisinin dan turunannya telah tersedia sebagai supositoria dan ternyata keefektifannya sama dengan pemberian secara intravena dan intramuskular dalam mengobati malaria berat . Barenness dkk menemukan bahwa rute intrarectal dari QN cream, Quinimax PQ krim, Quinimax dan injeksi garam kinin larut efektif dalam pengobatan malaria berat dan rumit pada anak-anak di beberapa bagian yang berbahasa Perancis Afrika. Para penelii menemukan bahwa kinin terbukti memberi efek yang baik dan aman. Mereka juga menemukan efisiensi kinin

sebanding dengan perawatan secara intramuskular dan intravena meskipun bioavailabilitas kinin supusitoria sangat miskin dan tak menentu.

Namun, beberapa supositoria memberikan efek samping seperti penolakan awal, gangguan intestinal transit, dan tidak cukup produk retensi yang membutuhkan administrasi ulang .


 

Bahan dan Metode

Penyusunan supositoria Kina menggunakan campuran minyak theobroma dan lilin lebah sebagai basis supositoria.

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Penerbut Universitas Indonesia. Jakarta

Tim Penyusun. 2008. Buku Ajar Farmakognosi. Jurusan Farmasi F. MIPA Universitas Udayana. Bukit Jimbaran.

Babalola, Chinedum P.AS Adebayo. A Omotoso. Olubukola Ayinde. Comparative Bioavailability Study of a New Quinine Suppository and Oral Quinine in Healthy Volunteers. http://ajol.info/index.php/tjpr/article/viewFile/14612/2717. Diakses 3 April 2010.


 


 


 


 


 


 

Read more »