Leukemia
Sel darah terbentuk dari pembelahan dan pendewasaan sel
induk yang mampu memperbaharui diri yang berada pada sumsum tulang dan
menumbuhkan sel-sel pendahulu dengan tujuan mematangkan sel-sel pendahulut
tersebut. Dengan cara ini, pada orang dewasa tiap harinya dapat terbentuk
rata-rata 1011 granulosit, 2x1011 trombosit dan 2x1011
eritrosit. Produksi sel darah menunjukkan secara permanen besarnya aktivitas.
Karena jangka hidup sel darah terbatas, sumsum tulang harus bekerja secara
maksimal (Wagener et al., 1996).
Leukemia merupakan salah satu jenis kanker dimana terjadi
proliferasi dan pendewasaan salah satu sel induk sumsum tulang atau sel
pendahulu yang keluar dari aturan. Sel induk yang mengalami transformasi
maligna ini menumbuhkan keturunan sel dengan berbagai kelainan. Sel-sel yang
menumpuk ini menentukan ciri-ciri klinis leukemia. Dalam perjalanan penyakit
sel-sel ini mengganggu pembuatan sel darah normal, sehingga dapat menimbulkan
kekurangan darah, granulositopenia dan trombositopenia (Wagener et al.,
1996).
Secara umum, ada 2 jenis leukemia yaitu leukemia kronis
dan leukemia akut. Leukemia akut terbagi lagi menjadi Leukemia Mieloid Akut/AML
dan Leukemia Limfatik Akut/ALL (Wagener et al., 1996).
Pada leukemia akut, terdapat peningkatan jumlah sel darah
putih maupun defek dalam pendewasaannya. Anamnesis tidak spesifik dan terutama
menyatakan keluhan-keluhan malaise sejak satu atau beberapa minggu. Adapun
gejala-gejala klinik dapat merupakan akibat insufisiensi sumsum tulang antara
lain :
·
Pucat, lesu dan dispnoe karena kurang
darah
·
Febris, infeksi saluran nafas bawah dan
atas
·
Perdarahan spontan, purpura, perdarahan
gusi, menoragia, epistaksis dan kadang-kadang perdarahan dalam sebagai akibat
dari trombositopenia.
Selanjutnya keluhan dapat timbul sabagai akibat infiltrasi
organ oleh leukemia, kelainan metabolik seperti hipokalemia, hiperkalsemia
(terutama pada T-ALL), kenaikan kadar asam urat dalam serum atau insufisiensi
ginjal. Dalam hal jumlah sel darah putih yang sangat tinggi (hiperleukositosis
100x109 per liter atau lebih) dapat timbul perdarahan retina dan
dapat terjadi thrombosis dalam saluran arterial sebagai akibat leukostasis,
yang menyebabkan kejadian cerebrovaskular dan infark (Wagener et al.,
1996).
Tujuan utama terapi adalah perbaikan insufisiensi hemopoetik
yang pada umumnya terdapat dalam fase akut leukemia. Dalam hal ini diusahakan
untu remisi komplit yaitu suatu situasi yang tidak lagi dapat ditemukan sel-sel
leukemia dalam aspirat sumsum tulang atau dalam material biopsi sumsum tulang
pada pemeriksaan mikroskopik. Hemopoesis dalam rongga sumsum tulang kembali
baik dan sel-sel darah perifer mengalami regenerasi sampai nilai-nilai normal
(Wagener et al., 1996).
Untuk menangani leukemia, adapaun terapi yang diberikan
adalah dengan menggunakan watchful waiting, chemotherapy, targeted therapy,
biological therapy, radiation therapy, and stem cell transplant (Anonim a,
tt). Pada ALL ada digunakan vinkristin, prednisone dan asparaginase.
Masing-masing dari obat ini mempunyai aktivitas antileukemik dan mempunyai
tempat yang tetap dalam penanganannya (Wagener et al., 1996).
LLA pada Anak
Dari anak yang menderita kelainan maligna, 30-35%
menderita salah satu bentuk leukemia, proliferasi autonom sel darah putih, yang
kebanyakan menampakkan diri dengan pertambahan sel abnormal dalam darah
perifer. Leukemia pada anak lebih banyak terjadi pada anak laki-laki. Pada bayi
yang baru lahir dan menyusui juga dapat dijumpai leukemia namun biasanya berupa
tipe myeloid akut (Wagener et al., 1996).
Meskipun sebab leukemia tidak diketahui, namun beberapa
faktor yang berperan dalam terjadinya leukemia antara lain faktor lingkungan,
virus, faktor genetik dan imunodefisiensi. Anak-anak yang menderita leukemia, 95% merupakan bentuk akut dan 5%
merupakan leukemia kronik. Dan anak-anak penderita leukemia akut
tersebut, 80% mempunyai bentuk limfatik (Wagener et al., 1996).
Gejala klasik leukemia biasanya ditandai dengan timbulnya
anemia, leucopenia dan trombositopenia. Anak tampak pucat dan lelah.
Periode-periode demam sering merupakan manifestasi infeksi yang berulang.
Inflamasi yang tidak sembuh dengan baik kadang-kadang merupakan gejala pertama
leukemia akut. Selain itu, pada rongga mulut dan tenggorokan juga sering
terjadi infeksi. Gejala fisik lain yang menjadi ciri dari leukemia akut adalah
perdarahan, gangguan pada tulang yaitu timbulnya rasa nyeri pada malam hari
pada punggung, lengan dan tungkai, pembengkakan kelenjar dan hepatosplenomegali
(Wagener et al., 1996).
Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk
diagnosis. Dalam fase inisial biasanya dijumpai sejumlah besar sel leukemia
dalam preparat sumsum tulang. Selain itu, pemeriksaan menggunakan metode
May-Grunwald-Giemsa, pengecatan sitokimia dan pemeriksaan imunologik dapat
digunakan untuk menegakkan diferensiasi tipe leukemia (Wagener et al.,
1996).
Seperti yang telah disebutkan di atas, sebagian besar
leukemia yang diderita oleh anak merupakan LLA (Leukemia Limfoblastic Acute)
maupun LMA (Leukemia Mieloid Acute),
namun kadang-kadang ada penderita yang sel leukemianya hanya mengalami sedikit
diferensiasi sehingga tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas
(LLA atau LMA). Dalam hal ini, dinamakan leukemia sel induk. Namun penderita
seringkali dianggap mengalami leukemia akut sehingga terapi yang diberikan
adalah terapi leukemia limfatik akut. Namun bila terapi tidak berhasil, maka
terapi dirubah menjadi terapi leukemia mieloid akut (Wagener et al.,
1996).
Di samping pemeriksaan gambaran darah lengkap, sumsum
tulang dan likuor, perlu juga dilakukan pemeriksaan fungsi organ dan ginjal dan
mekanisme pembekuan. Pemeriksaan rontgen tulang dapat menunjukkan prubahan
osteolitik. Pada foto toraks dapat terlihat pembesaran kelenjar hilus (Wagener et
al., 1996).
2.4 Tata Laksana Terapi
Terapi untuk ALL (Acute Lymphoblastic
Leukemia) secara historis dibagi menjadi tiga fase yaitu fase induksi
remisi (remission induction), fase terapi konsolidasi (consolidation therapy),
dan terapi pemeliharaan (maintenance therapy). Profilaksis sistem saraf pusat
(SSP) adalah komponen wajib dari setiap rejimen pengobatan ALL dan diberikan
longitudinal selama fase induksi dan konsolidasi. Terapi pasca-remisi
diperlukan untuk mengobati penyakit mikroskopis dan termasuk terapi rawat inap
intensif (konsolidasi atau terapi intensifikasi) diikuti dengan terapi rawat
jalan non-agresif (maintenance atau kelanjutan) (DiPiro, 2005).
Gambar 1. Algoritma
terapi untuk ALL dan AML (DiPiro, 2005)
A. Induksi
Remisi (Remission Induction)
Tujuan dari induksi remisi adalah untuk
menimbulkan remisi klinis dan hematologi
lengkap secara cepat. Tingkat CR (complete remission) adalah 97% sampai 99%
pada anak-anak yang diobati dengan vincristine, Dexamethasone atau prednison,
dan asparaginase atau PEG-asparagase. Pada anak-anak dengan risiko tinggi ALL,
daunorubisin ditambahkan ke tiga standar jenis obat induksi. Remisi dicapai
dalam 72% sampai 92% pada orang dewasa dengan daunorubisin atau doxorubicin,
vincristine, dan prednisone. Karena sebagian besar orang dewasa dianggap
berisiko tinggi, orang dewasa biasanya menerima induksi rejimen remisi lebih
intensif. Beberapa studi menunjukkan bahwa dosis tinggi Methotrexate dan
sitarabin bergantian dengan siklofosfamid difraksinasi ditambah vincristine,
doxorubicin, dan Dexamethasone (hiper-CVAD) dapat meningkatkan respon dan
kelangsungan hidup pada orang dewasa dengan ALL. Namun, pengobatan ini mungkin
terkait dengan toksisitas cerebellar signifikan. Dosis tinggi siklofosfamid
dapat diindikasikan untuk pasien dengan ALL T-cell (DiPiro, 2005).
Beberapa ahli menyarankan bahwa
kegagalan pengobatan ALL di masa anak-anak dikarenakan dari pengurangan awal
klon leukemia tidak memadai dan akuisisi resistensi obat oleh limpoblast
residual. Ini adalah dasar banyak percobaan telah memasukkan empat-obat (atau
lebih) dalam rejimen induksi remisi dan intensifikasi agresif atau rejimen
konsolidasi dalam pengelolaan pasien berisiko tinggi. Protokol pengobatan
kebanyakan menambah daunorubisin untuk induksi pada ALL berisiko tinggi, dan
beberapa juga menambahkan agen lain, seperti siklofosfamid, methotrexate,
sitarabin, dan teniposide. Tingkat klirens dari pembelahan sel darah merupakan faktor prognostik yang penting.
Anak-anak dengan tingkat klirens pembelahan sel darah dari sumsum tulang lambat dalam terapi hari
ke-7 pertama (berisiko tinggi) atau hari ke-14 (resiko standar) memiliki hasil terapi yang lebih rendah daripada
mereka yang dengan klirens bentukan sel darah. Terapi tambahan secara
signifikan meningkatkan hasil terapi anak dengan respon awal lambat. Prednison
merupakan glukokortikoid utama yang
digunakan dalam rejimen ALL pada pediatrik. Dexamethasone sekarang sedang
digunakan dalam beberapa protokol risiko standar karena durasi kerja yang lebih
lama dan penetrasi cairan serebrospinal lebih tinggi dibandingkan dengan prednisone.
Dexamethasone, bila digunakan untuk mengganti prednison selama fase induksi dan
pemeliharaan, juga meningkatkan event-free survival (EFS) dan menurunkan risiko
relaps SSP. Namun, Dexamethasone meningkatkan efek samping seperti nekrosis
avascular, miopati steroid, hiperglikemia, dan infeksi (DiPiro, 2005).
Ph + (Philadelphia
chromosome) pada ALL dikaitkan dengan hasil terapi jangka panjang yang buruk,
meskipun ketersediaan imatinib mesilat, terapi bertarget molekuler, telah
mendorong banyak penelitian ke efek obat ini baru pada tingkat kelangsungan
hidup jangka panjang. Sementara respon dapat dilihat dengan imatinib mesilat
sebagai monoterapi, pendekatan ini tidak menghasilkan remisi tahan lama.
Kombinasi hiper-CVAD dan imatinib muncul untuk menghasilkan hasil terapi yang
lebih baik dibandingkan dengan data kontrol historis dengan hyper-CVAD saja,
namun studi tambahan dan tindak lanjut jangka panjang diperlukan untuk
meyakinkan penentuan apakah strategi ini akan menjadi standar baru perawatan di
populasi berisiko tinggi (DiPiro, 2005).
B. Profilaksis
Sistem Saraf Pusat (Central Nervous System Prophylaxis)
Profilaksis SSP (sistem saraf pusat)
mungkin tumpang tindih dengan fase terapi atau dimasukkan ke dalam fase
induksi, konsolidasi, atau pemeliharaan. Alasan untuk dilakukannya profilaksis
SSP didasarkan pada dua pengamatan. Pertama,
agen kemoterapi banyak yang tidak mudah melintasi penghalang atau
barrier darah-otak. Kedua, hasil dari uji klinis awal ALL menunjukkan bahwa 50%
sampai 75% dari
pasien dengan ALL dan tidak ada keterlibatan SSP saat diagnosa mengalami
tingkat relapse SSP terisolasi yang sangat tinggi. Observasi ini menunjukkan bahwa SSP adalah tempat perlindungan potensial untuk sel leukemia dan sel-sel leukemia yang tidak terdeteksi hadir dalam SSP di banyak pasien pada saat diagnosis. Terdeteksinya keterlibatan SSP pada saat diagnosis relatif jarang (<10 2005="2005" all="all" di="di" ipiro="ipiro" kasus="kasus" span="span">10>
pasien dengan ALL dan tidak ada keterlibatan SSP saat diagnosa mengalami
tingkat relapse SSP terisolasi yang sangat tinggi. Observasi ini menunjukkan bahwa SSP adalah tempat perlindungan potensial untuk sel leukemia dan sel-sel leukemia yang tidak terdeteksi hadir dalam SSP di banyak pasien pada saat diagnosis. Terdeteksinya keterlibatan SSP pada saat diagnosis relatif jarang (<10 2005="2005" all="all" di="di" ipiro="ipiro" kasus="kasus" span="span">10>
Faktor-faktor yang berhubungan dengan
peningkatan risiko keterlibatan SSP di dalam diagnosis pada anak-anak termasuk
WBC count awal yang tinggi, T-sel
fenotipe, B-cell fenotipe dewasa, usia ≤ 1 tahun, trombositopenia, limfadenopati, dan hepatomegali atau splenomegali. Pada orang dewasa, faktorresiko untuk penyakit SSP termasuk B-sel ALL fenotipe matang dan tingginya proporsi sel dalam fase S (indikator pergantian selular) (DiPiro, 2005).
fenotipe, B-cell fenotipe dewasa, usia ≤ 1 tahun, trombositopenia, limfadenopati, dan hepatomegali atau splenomegali. Pada orang dewasa, faktorresiko untuk penyakit SSP termasuk B-sel ALL fenotipe matang dan tingginya proporsi sel dalam fase S (indikator pergantian selular) (DiPiro, 2005).
Tujuan dari
profilaksis SSP adalah untuk memberantas sel-sel leukemia tak terdeteksi dari
SSP. Meningitis leukemia lebih mudah dicegah daripada diobati. Setelah kekambuhan
SSP telah terjadi, pasien berada pada peningkatan risiko tinggi kekambuhan
sumsum tulang dan kematian dari refraktori leukemia. Uji coba awal pada ALL
pedriatri tahun 1960 menetapkan iradiasi kraniospinal sebagai standar untuk
pencegahan relapse (kekambuhan) SSP. Namun, pendekatan ini dikaitkan dengan
dampak jangka panjang termasuk gejala sisa defisit neuropsikologi, pubertas
prekoks, osteoporosis, tiroid disfungsi, peningkatan insiden tumor otak,
perawakan pendek (gangguan pertumbuhan), dan obesitas. Percobaan berikutnya
telah menunjukkan bahwa iradiasi dapat digantikan dengan pemberian kemoterapi
intratekal frekuensi tinggi pada anak-anak dengan ALL. Pemilihan rejimen
profilaksis SSP harus mempertimbangkan efektivitas, toksisitas, dan risiko
penyakit SSP (DiPiro, 2005).
Kemoterapi
intratekal, iradiasi kranial, dan methotrexate atau sitarabin dosis tinggi
secara intravena dapat digunakan untuk mengobati atau mencegah penyakit SSP. Pendekatan pengobatan
telah mengurangi kekambuhan SSP menjadi kurang dari 2% pada anak-anak. Terapi intratekal terdiri dari Methotrexate dan sitarabin
sendiri atau dalam kombinasi. Ketika
diberikan bersama-sama, hidrokortison biasanya ditambahkan untuk mengurangi
kejadian dari arachnoiditis. Dosis
kemoterapi intratekal yang digunakan pada pasien ALLpediatrik harus individual
berdasarkan usia karena perbedaan volume cairan serebrospinal pada berbagai
usia. Karena dengan gejala sisa jangka panjang yang terkait dengan iradiasi
kranial atau craniospinal, hanya anak-anak di diagnosis dengan penyakit SSP
atau yang berisiko tinggi tertentu saja yang menerima terapi ini di Amerika
Serikat (DiPiro, 2005).
C. Terapi
Konsolidasi (Consolidation Therapy)
Konsolidasi
(atau intensifikasi) terapi ALL dimulai
setelah CR (complete remission) telah dicapai, dan mengacu pada kemoterapi intensif dalam upaya untuk menangani penyakit klinis yang tidak terdeteksi. Rejimen pengobatan biasanya
menyertakan obat
non-cross-resisten yang berbeda
dari rejimen induksi,
atau penggunaan obat yang sama dengan dosis lebih intensif. Percobaan
acak menunjukkan bahwa terapi
konsolidasi jelas meningkatkan
hasil terapi pasien anak-anak, namun manfaatnya pada
orang dewasa kurang jelas.
Manfaat relatif dari masing-masing
komponen rejimen pengobatan sulit
untuk ditunjukkan
karena kompleksitas keseluruhan terapi pada
ALL.
Terapi konsolidasi dalam rejimen Jerman mirip
dengan rejimen induksi remisi, tapi
menggunakan Dexamethasone untuk pengganti prednison (karena lebih baik dalam penetrasi SSP untuk mencegah meningitis
leukemia), doxorubicin untuk daunorubisin, dan
thioguanine untuk mercaptopurine. Kanker dan Leukemia Grup
B (CALGB) menggunakan
rejimen konsolidasi jauh lebih rumit daripada rejimen induksi. Yang terakhir ini termasuk obat yang berbeda dan dosis yang lebih tinggi, setidaknya untuk dosis siklofosfamid (DiPiro,
2005).
Para
peneliti Jerman menemukan durasi kelangsungan hidup pasien rata-rata 27,5 bulan dan diperkirakan
5 tahun. Dengan
waktu tindak lanjut pendek (median : 43
bulan), penelitian CALBG menunjukkan durasi
bertahan hidup 36 bulan dan 3 tahun tingkat kelangsungan hidup dari 39% mereka yang berusia 30 sampai 59 tahun.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa fase konsolidasi dalam
terapi ALL pasien dewasa diperlukan,
meskipun pertanyaan spesifik tetap tentang obat, durasi
pemilihan terapi, dosis, dan waktu administrasi
(DiPiro, 2005).
Pada anak-anak,
intensitas terapi konsolidasi didasarkan pada risiko klasifikasi
anak dan tingkat cytoreduction selama induksi. Pasien yang merespon perlahan ke terapi
induksi berada pada risiko yang
lebih tinggi mengalami kekambuhan jika mereka tidak diperlakukan pada rejimen yang lebih
agresif. Salah satu strategi pengobatan adalah untuk memasukkan satu atau dua fase intensifikasi tertunda
yang dipisahkan oleh siklus interim pemeliharaan intensitas
rendah untuk mempertahankan remisi
dan untuk mengurangi toksisitas
kumulatif. Strategi ini menghasilkan 6 tahun
EFS dari 76%
untuk intensifikasi tertunda tunggal dan 83%
untukdua siklus dalam pasien berisiko menengah. Studi saat ini
sedang menguji rejimen yang sama dalam pasien berisiko
standar. Rejimen berbasis
antimetabolit mungkin memiliki penurunan
risiko toksisitas, tapi rejimen
konsolidasi intensif menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih baik untuk beberapa pasien, khususnya mereka yang berisiko tinggi terkena penyakit (DiPiro,
2005).
Studi
saat ini dirancang untuk melanjutkan penilaian intensitas
konsolidasi yang dibutuhkan untuk pasien dengan berbagai tingkat risiko dan untuk menentukan apakah methotrexate harus diberikan secara oral atau intramuskular
karena masalah kepatuhan pasien. Anak-anak dengan ALL Ph + atau bayi dengan
t (4; 11) keturunan campuran
leukemia (MLL), atau anak yang hanya mencapai remisi parsial ditransplantasikan sumsum tulang belakang di remisi pertama jika tersedia donor yang cocok. Pada orang dewasa, indikasi untuk transplantasi kurang jelas, tetapi jika pasien tidak terlalu tua, dan donor yang cocok (saudara alogenik) tersedia, banyak pusat pengobatan akan merekomendasikan transplantasi alogenik hematopoietic stem cell (alloHSCT) di remisi pertama. Sel induk autologous transplantasi hematopoietik (autoHSCT) belum terbukti lebih unggul daripada kemoterapi. Haploidentical dan transplantasi darah plasenta sedang diselidiki karena banyak pasien tidak memiliki donor saudara cocok yang tersedia (DiPiro, 2005).
leukemia (MLL), atau anak yang hanya mencapai remisi parsial ditransplantasikan sumsum tulang belakang di remisi pertama jika tersedia donor yang cocok. Pada orang dewasa, indikasi untuk transplantasi kurang jelas, tetapi jika pasien tidak terlalu tua, dan donor yang cocok (saudara alogenik) tersedia, banyak pusat pengobatan akan merekomendasikan transplantasi alogenik hematopoietic stem cell (alloHSCT) di remisi pertama. Sel induk autologous transplantasi hematopoietik (autoHSCT) belum terbukti lebih unggul daripada kemoterapi. Haploidentical dan transplantasi darah plasenta sedang diselidiki karena banyak pasien tidak memiliki donor saudara cocok yang tersedia (DiPiro, 2005).
D.
Terapi Pemeliharaan (Maintenance Therapy)
Banyak pasien ALL dewasa kambuh sesaat
setelah selesainya induksi remisi dan terapi konsolidasi, mungkin karena
penyakit sisa. Terapi pemeliharaan memungkinkan paparan jangka panjang obat
pada sel yang perlahan membagi, memungkinkan ada waktu untuk sistem kekebalan
tubuh untuk membasmi sel-sel leukemia, dan mempromosikan apoptosis (kematian
sel terprogram). Tujuan dari terapi pemeliharaan untuk lebih memberantas sel leukemia residual dan
memperpanjang durasi remisi. Meskipun terapi pemeliharaan jelas menguntungkan
di ALL masa anak-anak, manfaat yang mungkin pada orang dewasa baru-baru ini
telah ditunjukkan. Di beberapa kasus ALL pada dewasa, percobaan yang melibatkan
induksi dan konsolidasi, namun fase pemeliharaan dihilangkan, DFS (disease-free
survival) 2 tahun lebih rendah dibandingkan dengan uji coba yang
mengikutsertakan fase pemeliharaan. Terapi pemeliharaan biasanya terdiri dari
mercaptopurine dan methotrexate, pada dosis yang menghasilkan myelosupresi
relatif sedikit, dengan pengobatan intermiten dari vincristine dan steroid.
Dalam upaya untuk menentukan hasil jangka panjang dari durasi dan intensitas
terapi pemeliharaan, Grup Kolaborasi ALL Anak menerbitkan temuan dari
meta-analisis yang melibatkan 12.000 anak acak dari 42 percobaan dimulai
sebelum 1987. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemeliharaan lebih lama, terapi
vincristine dan prednisone, dan masuknya satu atau dua program reinduction intensif
secara signifikan mengurangi jumlah kematian atau kekambuhan. Namun, hanya
reinduction intensif meningkatkan kelangsungan hidup. Durasi optimal terapi
pemeliharaan pada orang dewasa tidak diketahui, namun sebagian besar program
pengobatan melanjutkan terapi pemeliharaan selama 24 sampai 36 bulan.
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan kecenderungan peningkatan
kekambuhan akhir antara anak-anak laki-laki dirawat selama 2 tahun dibandingkan
3 tahun, beberapa pusat memperlakukan anak perempuan selama 2 tahun, sementara
laki-laki menerima perawatan selama 3 tahun. Keputusan tentang terapi
pemeliharaan pada orang dewasa juga didasarkan pada subtipe pasien ALL. Orang
dewasa dengan ALL pra-B-sel umum mendapat manfaat dari terapi pemeliharaan
konvensional dengan Methotrexate dan mercaptopurine, sementara mereka dengan
ALL B-sel atau ALL Ph+ mungkin mendapatkan manfaat yang lebih besar dari
induksi intensif dan konsolidasi dan sedikit dari maintenance (pemeliharaan)
(DiPiro, 2005).
Variabilitas interpatient dalam
farmakokinetik oral Methotrexate dan mercaptopurine juga dapat menjadi penentu
penting dari efektivitas dan toksisitas dari terapi pemeliharaan. Pasien yang
mendapat Methotrexate oral dan mercaptopurine pada malam hari dibandingkan
dengan pagi tampaknya memiliki outcome superior. Untuk menjelaskan variabilitas
interpatient, protokol yang penting pada pediatrik adalah titrasi dosis agen
untuk mempertahankan jumlah neutrofil mutlak 750 sampai 1.500 / mm3.
Beberapa protokol menghindari masalah bioavailabilitas dan kepatuhan dengan
pemberian methotrexate parenteral (DiPiro, 2005).
Polimorfisme genetik dapat mempengaruhi
metabolisme obat, ekspresi reseptor, transportasi obat, disposisi obat, dan
respon farmakologi. Perubahan ini dapat berkontribusi terhadap toksisitas akut
dan kronis dari terapi ALL serta perbedaan dalam hasil pengobatan. Polimorfisme
paling banyak dipelajari melibatkan metabolisme thiopurine. Thiopurine yang
aktif oleh S-metilasi oleh thiopurine
celular methyltransferase (TPMT). Sekitar 10% dari populasi memiliki
perantara TPMT karena polimorfisme heterozigot dalam pengkodean gen aktivitas
untuk TPMT, dan satu diantara 300 orang memiliki aktivitas yang sangat rendah
karena kehadiran polimorfisme homozigot ini. Defisiensi kegiatan TMPT mengakibatkan
myelosupresi berlebihan dari mercaptopurine dan thioguanine. Pasien dengan
aktivitas rendah (homozigot genotipe TPMT mutan) mungkin memerlukan 85% sampai
90% penurunan dosis (DiPiro, 2005).
Your Affiliate Money Making Machine is waiting -
ReplyDeleteAnd making profit with it is as easy as 1--2--3!
Here's how it works...
STEP 1. Input into the system what affiliate products you want to push
STEP 2. Add some PUSH BUTTON traffic (it LITERALLY takes JUST 2 minutes)
STEP 3. See how the affiliate system grow your list and sell your affiliate products on it's own!
So, do you want to start making money??
Click here to check it out