I. Dasar Teori
Hasil pengukuran yang baik dari suatu parameter kuantitas kimia, dapat dilihat berdasarkan tingkat presisi dan akurasi yang dihasilkan. Akurasi menunjukkan kedekatan nilai hasil pengukuran dengan nilai sebenarnya. Untuk menentukan tingkat akurasi perlu diketahui nilai sebenarnya dari parameter yang diukur dan kemudian dapat diketahui seberapa besar tingkat akurasinya. Presisi menunjukkan tingkat reliabilitas dari data yang diperoleh. Hal ini dapat dilihat dari standar deviasi yang diperoleh dari pengukuran, presisi yang baik akan memberikan standar deviasi yang kecil dan bias yang rendah. Jika diinginkan hasil pengukuran yang valid, maka perlu dilakukan pengulangan, misalnya dalam penentuan nilai konsentrasi suatu zat dalam larutan larutan dilakukan pengulangan sebanyak n kali. Dari data tersebut dapat diperoleh ukuran harga nilai terukur adalah rata-rata dari hasil yang diperoleh dan standar deviasi. Perbandingan dari tingkat presisi, akurasi dan bias dari suatu hasil pengukuran dapat diilustrasikan pada gambar 1.
|
Gambar 1 menyajikan pola target hasil dari olah raga menembak atau memanah yang analog dengan pola hasil pengukuran analitik yang ideal. Pada gambar 1 (a) sebaran data cukup baik dan mendekati data aslinya. Hasil data dikatakan presisi dan tidak bias atau tidak menyimpang. Gambar 1 (b) menunjukkan sebaran data yang presisi, tetapi menyimpang dari target yang sebenarnya berarti data dikatakan bias. Gambar 1 (c) menunjukkan sebaran data yang meluas berarti data yang diperoleh tidap presisi. Data 1 (c) tersebut tidak bias relatif jika dibandingkan dengan data 1 (d) yang sama-sama tidak presisi. Faktor-faktor presisi dan bias ini sangat ditentukan oleh terjadinya faktor-faktor kesalahan yang terjadi selama pengukuran. (Tahir, 2007).
Tipe kesalahan dalam pengukuran analitik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Kesalahan serius (Gross error)
Tipe kesalahan ini sangat fatal, sehingga konsekuensinya pengukuran harus diulangi. Contoh dari kesalahan ini adalah kontaminasi reagent yang digunakan, peralatan yang memang rusak total, sampel yang terbuang, dan lain lain. Indikasi dari kesalahan ini cukup jelas dari gambaran data yang sangat menyimpang, data tidak dapat memberikan pola hasil yang jelas, tingkat reprodusibilitas yang sangat rendah dan lain lain.
2. Kesalahan acak (Random error)
Golongan kesalahan ini merupakan bentuk kesalahan yang menyebabkan hasil dari suatu perulangan menjadi relatif berbeda satu sama lain, dimana hasil secara individual berada di sekitar harga rata-rata. Kesalahan ini memberi efek pada tingkat akurasi dan kemampuan dapat terulang (reprodusibilitas). Kesalahan ini bersifat wajar dan tidak dapat dihindari, hanya bisa direduksi dengan kehati-hatian dan konsentrasi dalam bekerja.
3. Kesalahan sistematik (Systematic error)
Kesalaahn sistematik merupakan jenis kesalahan yang menyebabkan semua hasil data salah dengan suatu kemiripan. Hal ini dapat diatasi dengan:
a. Standarisasi prosedur
b. Standarisasi bahan
c. Kalibrasi instrument
(Tahir, 2007).
Secara umum, faktor yang menjadi sumber kesalahan dalam pengukuran sehingga menimbulkan variasi hasil, antara lain adalah:
1. Perbedaan yang terdapat pada obyek yang diukur.
Hal ini dapat diatasi dengan:
a. Obyek yang akan dianalisis diperlakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh ukuran kualitas yang homogen
b. Mengggunakan tekhnik sampling dengan baik dan benar
2. Perbedaan situasi pada saat pengukuran
Perbedaan ini dapat diatasi dengan cara mengenali persamaan dan perbedaan suatu obyek yang terdapat pada situasi yang sama. Dengan demikian sifat-sifat dari obyek dapat diprediksikan.
3. Perbedaan alat dan instrumentasi yang digunakan
Cara yang digunakan untuk mengatasinya adalah dengan menggunakan alat pengatur yang terkontrol dan telah terkalibrasi.
4. Perbedaan penyelenggaraan/administrasi
Kendala ini diatasi dengan menyelesaikan permasalahannon-teknis dengan baik sehingga keadaan peneliti selalu siap untuk sehingga melakukan kerja.
5. Perbedaan pembacaan hasil pengukuran
Kesalahan ini dapat diatasi dengan selalu berupaya untuk mengenali alat atau instrumentasi yang akan digunakan terlebih dahulu. (Tahir, 2007).
Salah satu contoh instrumentasi analisis yang lebih kompleks adalah spektrofotometer UV-Vis. Alat ini banyak bermanfaat untuk penentuan konsentrasi senyawa-senyawa yang dapat menyerap radiasi pada daerah ultraviolet (200 – 400 nm) atau daerah sinar tampak (400 – 800 nm) Analisis ini dapat digunakan yakni dengan penentuan absorbansi dari larutan sampel yang diukur. (Tahir, 2007).
Pengukuran absorbansi untuk tujuan analisis kuantitatif dengan metode spektrofotometri uv-visibel harus memenuhi hokum Lambert-Beer. Hukum Lambert Beer berlaku dengan baik bila larutannya tidak terlalu encer ataupun pekat. Kesalahan relative minimal yang diberikan /dihasilkan larutan tersebut terjadi bila absorbansinya = 0,434 atau transmisinya 36,8%. Umumnya di dalam prosedur analisis kuantitatif serapan larutan yang diukur sebaiknya berada pada rentang transmitan 15-75%. (Kadjeng, dkk., 2009).
Prinsip penentuan spektrofotometer UV-Vis adalah aplikasi dari Hukum Lambert-Beer, yaitu:
A = - log T = - log It / Io = ε . b . C
Dimana : A = Absorbansi dari sampel yang akan diukur
T = Transmitansi
I0 = Intensitas sinar masuk
It = Intensitas sinar yang diteruskan
ε = Koefisien ekstingsi
b = Tebal kuvet yang digunakan
C = Konsentrasi dari sampel
Penyebab kesalahan sistematik yang sering terjadi dalam analisis menggunakan spektrofotometer adalah:
a) Serapan oleh pelarut
Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan blangko, yaitu larutan yang berisi matrik selain komponen yang akan dianalisis.
b) Serapan oleh kuvet
Kuvet yang biasa digunakan adalah dari bahan gelas atau kuarsa. Dibandingkan dengan kuvet dari bahan gelas, kuvet kuarsa memberikan kualitas yang lebih baik, namun tentu saja harganya jauh lebih mahal. Serapan oleh kuvet ini diatasi dengan penggunaan jenis, ukuran, dan bahan kuvet yang sama untuk tempat blangko dan sampel.
c) Kesalahan fotometrik normal pada pengukuran dengan absorbansi sangat rendah atau sangat tinggi, hal ini dapat diatur dengan pengaturan konsentrasi, sesuai dengan kisaran sensitivitas dari alat yang digunakan. (melalui pengenceran atau pemekatan)
Untuk mengatasi kesalahan pada pemakaian spektrofotometer UV-Vis maka perlu dilakukan kalibrasi. Kalibrasi dalam spektrofotometer UV-Vis dilakukan dengan menggunakan blangko:
Setting nilai absorbansi = 0
Setting nilai transmitansi = 100 %
Penentuan kalibrasi dilakukan denganikuti prosedur sebagai berikut:
a. Dilakukan dengan larutan blangko (berisi pelarut murni yang digunakan dalam sampel) dengan kuvet yang sama.
b. Setiap perubahan panjang gelombang diusahakan dilakukan proses kalibrasi.
c. Proses kalibrasi pada pengukuran dalam waktu yang lama untuk satu macam panjang gelombang, dilakukan secara periodik selang waktu per 30 menit.
Dengan adanya proses kalibrasi pada spektrofotometer UV-Vis ini maka akan membantu pemakai untuk memperoleh hasil yang kaurat dan presisi. (Wiryawan, dkk., 2008).
Oleh karena itu dalam praktek sangat dianjurkan untuk menyiapkan beberapa larutan dengan konsentrasi yang berbeda biasanya disebut larutan standar, kemudian diukur absorbansinya. Hasil pengukuran dibuat grafik kalibrasi absorbansi vs konsentrasi. Selanjutnya konsentrasi larutan yang belum diketahui dapat ditentukan dari grafik tersebut.
Gambar 2. Kurva Kalibrasi
Dengan menggunakan grafik kalibrasi yang diperoleh dari beberapa standar dibanding dengan menggunakan satu standar , ketidakpastian analisa dapat dikurangi dan karenanya ketelitian akan sangat meningkat. Perlu dicatat bahwa garis lurus pada grafik kalibrasi tidak akan diperoleh dengan cara mem-plot transmitans vs konsentrasi. Karena absorbansi dan transmitans dihubungkan oleh persamaan :
A = - log T
maka tidak ada hubungan linear antara transmitans dan konsentrasi.
Gambar 3. Hubungan antara konsentrasi dengan transmitansi dan absorbansi
Oleh karena itu jika hasil pengukuran berupa transmitans, makaharus diubah ke bentuk absorbansi agar dapat membuat kurvakalibrasi. (Wiryawan, dkk., 2008).
Pemilihan Panjang Gelombang untuk Analisa Kuantitatif
Dalam spektrometri molekular kuantitatif, pengukuran absorbansi atau transmitans dibuat berdasarkan satu seri (rangkaian) larutan pada panjang gelombang yang telah ditetapkan. Panjang gelombang paling yang sesuai ditentukan dengan membuat spektrum absorbsi dimana panjang gelombang yang paling sesuai adalah yang menghasilkan absorbansi maksimum. Selanjutnya panjang gelombang ini digunakan untuk pengukuran kuantitatif. Dengan menggunakan panjang gelombang dari absorbansi 118 yang maksimum, maka jika terjadi penyimpangan (deviasi) kecil panjang gelombang dari cahaya masuk hanya akan menyebabkan kesalahan yang kecil dalam pengukuran tersebut. Jika panjang gelombang dipilih dari daerah spektrum di mana ada suatu perubahan yang besar absorbansi dalam daerah (range) panjang gelombang yang sempit, maka jika terjadi penyimpangan (deviasi) kecil panjang gelombang dari cahaya masuk akan menyebabkan kesalahan yang besar dalam pengukuran absorbansi tersebut.
Gambar 4. Spektrum absorpsi dan kurva standar
Pengaruh radiasi polikromatik pada hubungan hukum Beer. Pita A menunjukkan penyimpangan (deviasi) yang kecil selama tidak terjadi perubahan besar pada ? sepanjang pita tersebut. Pita B menunjukkan penyimpangan yang jelas karena ? mengalami perubahan yang berarti pada daerah tersebut. (Wiryawan, dkk., 2008).
Kesalahan dalam Analisis Spektrometri Kuantitatif
Ada tiga sumber kesalahan dalam pengukuran dengan spektrofotometer :
(a) pengaturan ke absorbabsi nol (100% T)
(b) pengaturan ke absorbansi (0% T)
(c) pembacaan nilai absorbansi atau transmitans
Gambar 5. Kesalahan pembacaan spektrofotometer pada berbagai harga transmitansi
Berikut ini dijelaskan menurut Wiryawan, dkk. 2008, dalam bentuk skema pengaruh dari lebar kuvlet terhadap hasil pembacaan spektrofotometer.
0 comments:
Post a Comment