26 November 2010

AJEG BALI : MECARU

Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka. Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia) dan Buwana Agung (alam semesta). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian perayaan agama yang besar bagi seluruh Umat Hindu. Kegiatan dalam menyambut Hari Raya Nyepi ini ada dua macam yaitu:
1. Sehari sebelum hari raya Nyepi, tepat pada bulan mati (tilem) melaksanakan    upacara Bhuta Yadnya (mecaru).
2. Pada hari raya Nyepi yaitu awal tahun baru Saka yang jatuh pada tanggal 1 sasih Kedasa dilaksanakan upacara Yoga Samadhi.
Ada empat berata pantangan yang wajib diikuti pada saat hari raya Nyepi, disebut Catur Berata Penyepian yang berlaku mulai dan hingga sebelum matahari terbit (ngedas lemah), yaitu: 
1. Amati Geni, berpantang menyalakan api
2. Amati Karya, menghentikan aktivitas kerja
3. Amati Lelanguan, berpantang menghibur diri / menghentikan kesenangan
4. Amati Lelungan, berpantang bepergian. 
Hari Raya Nyepi identik dengan kesunyian, keheningan, dan perenungan akan
hal-hal yang sudah terjadi pada masa lampau. Bali sebagai daerah tujuan wisata
dunia seakan mati suri sejenak, untuk merayakan pergantian tahun ini.
Seluruh aktivitas dihentikan selama kurang lebih dua puluh empat jam. Pelabuhan, bandara, terminal yang biasanya penuh sesak dengan aktivitas keberangkatan dan kedatangan ditutup sementara. Hening, sepi, tenang dan tenteram.
Dalam kesenyapan hari suci Nyepi ini kita mengadakan mawas diri, instropeksi diri terhadap kesalahan-kesalahan atau kelalaian yang telah kita lakukan agar kedepannya kita dapat menjadi umat yang lebih baik baik itu secara jasmani maupun rohani serta dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita nantinya. 
Namun dalam pembahasan ini tidak semua tentang hari raya Nyepi yang akan dibahas.  Yang ingin lebih ditekankan disini adalah mengenai upacara sehari sebelum hari raya nyepi, tepat pada bulan mati (tilem) yaitu mecaru.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga" umat Hindu melaksanakan upacara Butha Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis "Caru" menurut kemampuannya. Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala, dan segala 'leteh' (kotor), semoga sirna semuanya dan menjadi suci kembali. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari; nasi manca warna (lima warna), lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Dalam kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Mengapa upacara Butha Yadnya itu disebut caru?. Hal itu disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya. Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra.
ButhaYadnya pada hakekatnya merawat lima unsur alam yang disebut panca maha butha (tanah, air, api, udara dan ether). Kalau kelima unsur alam itu berfungsi secara alami, maka dari kelima unsur itulah lahir tumbuh-tumbuhan.  Seperti kita ketahui bahwa tumbuh-tumbuhanlah sebagai bahan dasar makanan hewan dan manusia. Kalau keharmonisan kelima unsur alam itu terganggu maka fungsinya pun juga akan terganggu. Karena itu upacara mecaru itu berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat manusia agar memiliki wawasan kesemestaan alam. Karena itu upacara mecaru itu berarti suatu kewajiban merawat badan raga Tuhan dalam wujud merawat alam.
Tujuan digunakan tumbuh tumbuhan dan, hewan tertentu sebagai sarana upacara yadnya adalah sebagai upaya dan doa agar semua makhluk hidup tersebut meningkat kualitas dan kuantitasnya pada kelahiran yang akan datang (kitab Manawa Dharmasastra V.40).
Kalau Banten Butha Yadnya itu masih menggunakan nasi dengan lauknya bawang jahe belum menggunakan hewan itu disebut Segehan. Ada segehan Nasi Sasah, ada Segehan Nasi Kepel, Segehan Nasi Wong-Wongan, ada Segehan Naga dan sebagainya. Kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan ayam, banten itulah yang disebut Caru. Ada Caru Eka Sata, Panca Sata, Panca Sanak, Panca Kelud. Balik Sumpah.  Kalau banten itu sudah menggunakan binatang, seperti kerbau, banten itu sudah bernama Banten Tawur, bukan Banten Caru lagi. 
Banten Bhuta Yadnya yang disebut caru selalu menggunakan binatang kurban. Penggunaan binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata menggunakan ayam brumbun atau lima warna. Caru Panca Sata menggunakan lima ekor ayam. Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara Yadnya telah disebutkan dalam Manawa Dharmasastra V.40. Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya. Manusia yang memberikan kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut juga akan mendapatkan pahala yang utama. Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan. Karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus meningkat menuju kesifat-sifat kedewaan.
Bhuta Kala umumnya dibayangkan sebagai suatu makhluk ajaib yang berwajah seram menakutkan. Keadaan itu sering diwujudkan dengan ogoh-ogoh menjelang Nyepi. Dalam bahasa sehari-hari di kalangan umat Hindu terutama di Bali ada istilah mecaru untuk nyomia Bhuta Kala. Upacara nyomia Bhuta Kala artinya mengubah sifat ganas Bhuta Kala menjadi bersifat lembut membantu manusia untuk mengembangkan perbuatan baik.
Jadi hakekat upacara mecaru itu adalah memotivasi spiritual agar selalu berbuat mengubah sifat ganas menjadi lembut tentang keberadaan Bhuta Kala itu. Dengan demikian terjadilah suatu hubungan yang harrnonis antara manusia dengan Bhuta Kala. Keharmonisan itulah tujuan dari upacara mecaru itu.
            Bhuta Kala yang digambarkan itu tidak lain dari pada sifat-sifat alam kita ini. Manusia hidup bersama alam bahkan jasmani manusia juga disebut alam kecil atau Bhuwana Alit. Sifat alam kadang-kadang sebagai sahabat manusia kadang-kadang sebagai musuh manusia. Api dan air bisa menjadi sahabat dan membantu kehidupan manusia. Bisa juga menjadi musuh manusia seperti menimbulkan kebakaran, banjir dan lainnya. Agar alam itu selalu dapat bersahabat dengan manusia, yang harus aktif membangun persahabatan itu adalah manusia itu sendiri. Persahabatan dengan alam itu dapat dilakukan dengan cara sekala atau nyata dan dengan cara niskala atau dengan cara kerokhanian. Upacara mecaru adalah membangun persahabatan dengan alam dengan cara niskala. Cara niskala ini harus seimbang dengan cara sekala. Dengan demikian Bhuta Kala itu akan selalu menjadi sahabat membantu kehidupan manusia.

0 comments:

Post a Comment