29 August 2011

PERAN PERAWAT DALAM PEMBERIAN OBAT BRONKODILATOR PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN


BRONKODILATOR
Bronkodilator adalah obat yang mempunyai efek antibronkokonstriksi.1 Bronkodilator dapat mengembalikan obstruksi jalan nafas pada asma. Cara kerjanya adalah melalui efek langsung obat pada otot polos saluran nafas. Bronkodilator dapat diberikan secara enteral, parenteral, atau inhalasi. Obat-obat tersebut mempunyai indeks terapeutik yang lebih baik bila diberikan sebagai aerosol daripada parenteral atau enteral. Di klinik aerosol dapat diperoleh melalui nebulizer (jets atau ultrasonik), metered dose inhaler (MDI), dan dry powder inhaler (DPI).2
Ada tiga golongan bronkodilator yang biasa digunakan, yaitu :
  1. Agonis β-adrenergik
  2. Antikolinergik
  3. Metilsantin

1. Agonis β-adrenergik
Epinefrin telah digunakan untuk pengobatan asma sejak awal abad ke-20, berefek mengurangi pembengkakan mukosa bronkus. Epinefrin menstimulasi baik reseptor a maupun β adrenergik. Efek bronkodilatornya dimediasi oleh reseptor β.1
Isoproterenol merupakan agonis β yang kuat dan kurang berpengaruh terhadap reseptor  a adrenergik. Telah digunakan sejak tahun 1940-an untuk pengobatan asma. Namun, isoproterenol merupakan agonis β nonselektif sehingga obat ini menstimulasi baik reseptor β1 maupun β2. Pada tahun 1960-an kemudian diperkenalkan agonis β2 yang seklektif seperti albuterol atau  salbutamol dan terbutalin.1

1.1 Farmakologi
            Agonis β adrenergik menyebabkan bronkodilatasi melalui stimulasi langsung obat terhadap reseptor β adrenergik pada otot polos jalan nafas yang menyebabkan relaksasi otot polos jalan nafas. Reseptor β adrenergik pada jalan nafas terdapat mulai trakea hingga bronkioli terminalis.1  
            Agonis β adrenergik mempunyai beberapa efek. Selain mengurangi resistensi jalan nafas, agonis β adrenergik mempunyai efek kuat untuk mencegah pelepasan mediator dari sejumlah sel termasuk sel mast paru manusia secara invitro dan invivo. Dengan mekanisme berbeda, agonis β-adrenergik dapat mengurangi leakage mikrovaskuler yang mendasari terjadinya edema mukosa jalan nafas. Selain itu agonis β adrenergik juga meningkatkan sekresi mukus kelenjar submukosa dan transportasi ion melalui epitel saluran nafas.1
1.2 Farmakodinamik
            Epinefrin adalah obat yang paling sering digunakan untuk pengobatan reaksi anafilaktik akut karena berefek terhadap reseptor a dan β adrenergik. Namun, epinefrin merupakan pilihan obat lini kedua untuk asma karena kurang selektif terhadap β2             ( mengakibatkan perangsangan kardiak melalui stimulasi β 1), durasi kerja yang singkat dan efeknya yang prominent terhadap reseptor a (mengakibatkan vasokonstriksi). Pemberian subkutan dengan dosis 0,01mg per kgBB menghasilkan bronkodilator cepat. Pemakaian efinefrin harus dibatasi pada penderita tua terutama yang menderita penyakit jantung iskemik karena obat ini dapat menimbulkan efek samping seperti iskemia miokard, aritmia dan hipertensi sistemik.2
            Isoproterenol juga merupakan agonis β nonselektif, sehingga mempunyai efek perangsangan terhadap jantung. Sebagai bronkodilator, isoproterenol mempunyai onset of action < 2 jam.
            Telah diperkenalkan beberapa agonis β2 selektif dengan efek bronkodilatasi yang sama dengan β agonis nonselektif. Obat-obat ini kurang memiliki efek stimulasi jantung dibandingkan isoproterenol. Contoh obat yang digunakan di klinik antara lain albuterol, terbutalin, fenoterol, bitolterol, metaproterenol, dan isoetarin. Long acting β2 agonist lebih efektif pada pemberian inhalasi. Efek bronkodilator formoterol dan salmeterol lebih dari 12 jam sehingga cukup diberikan dua kali sehari.1,3

1.3 Indikasi
Agonis β adrenergik digunakan secara luas untuk penanganan asma. Bila diinhalasi dengan metered-dose-aerosol disamping mudah digunakan, onsetnya cepat dan tanpa efek samping yang signifikan. Pemberian dengan nebulizer pada serangan asma akut sama efektifnya dengan pemberian intravena dengan efek samping sistemik yang kurang.1,4

1.4 Efek samping dan kontra indikasi
            Efek agonis β adrenergik yang tidak dinginkan bersifat dose-related dan berhubungan dengan stimulasi reseptor β ekstrapulmoner antara lain :

      - Tremor.
Disebabkan oleh perangsangan reseptor β2 pada otot skeletal dan merupakan efek samping yang paling sering dijumpai, lebih mudah terjadi pada usia lanjut.

      - Kardiovskuler
Takikardia dan palpitasi yang diakibatkan oleh refleks cardiac stimulation sekunder terhadap vasodilatasi perifer disebabkann oleh stimulasi reseptor β di pembuluh darah, dan stimulasi langsung reseptor β di atrium. Takikardi juga dapat terjadi pada pemberian β2 selektif dengan dosis yang melebihi dosis lazim karena terjadi perangsangan pada reseptor β1.

      - Metabolik
Peningkatan asam lemak bebas, pelepasan insulin, glukosa, piruvat dan laktat. Hipokalemia merupakan efek metabolik yang paling serius karena dapat mencetuskan aritmia jantung. Hipokalemia terjadi karena perangsangan reseptor β2 sehingga menyebabkan masuknya ion kalium ke dalam sel otot skeletal.

      - Hipoksemia  
Agonis β adrenergik dapat meningkatkan mismatch ventilasi-perfusi akibat vasodilatasi arteriol paru yang sebelumnya mengalami vasokonstriksi akibat hipoksia. Hal ini menimbulkan terjadinya shunt aliran darah ke daerah dengan ventilasi buruk sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan parsial  oksigen. Hipoksemia dapat dicegah dengan pemberian oksigen bersama-sama agonis adrenergik. Perlu dilakukan pemantauan analisa gas darah untuk mengevaluasi PaO2, PaCO2 dan pH.1
Contoh sediaan dan dosis obat β 2 agonis yang umum digunakan di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Sediaan dan dosis obat β 2 agonis 4

Medikasi
 

Sediaan obat   

Dosis dewasa

Dosis anak     
Agonis β2
Kerja singkat

Terbutalin







Salbutamol





Fenoterol



Prokaterol



IDT 0,25mg/semprot      Turbuhaler 0,25 mg ; 0,5mg/hirup                                      Respule/solutio 5m/2ml
Tablet 2,5 mg
Sirup 1,5 ; 2,5 mg/ 5


IDT 100 mcg/semprot
Nebules / solutio
2,5 mg/2 ml, 5 mg / ml
Tablet 2 mg, 4 mg
Sirup 1 mg, 2 mg / 5 ml

IDT100,200mcg/semprot
Solutio 100 mcg / ml


IDT 10 mcg/semprot
Tablet 25, 50 mcg
Sirup 5 mcg / ml



Inhalasi
0,25 – 0,5 mg
3 – 4 x / hari

Oral 1,5 – 2,5 mg
3 – 4 x / hari


Inhalasi 200 mcg, 3 - 4 x / hari

Oral 1 – 2 mg,  3 – 4
x / hari

200 mcg, 3 -4  x / hari
10 – 20 mcg


2 – 4 x / hari
2 x 50 mcg / hari
2 x 5 ml / hari




Inhalasi 0,25 mg
3 – 4 x / hari
(> 12 tahun)

Oral  0,05
mg/kgBB/x
3 – 4 x / hari

Inhalasi 100 mcg, 3 - 4 x / hari

Oral 0,05mg / kg BB / x  3 – 4 x / hari

100 mcg, 3 - 4 x / hari
10 mcg


2 x / hari
2 x 25 mcg / hari
2 x 2,5 ml / hari
Agonis β 2 kerja lama

Salmeterol


Bambuterol


Prokaterol


Formoterol



IDT 25 mcg/semprot
Rotadisk 50 mcg

Tablet 10 mcg


Tablet 25, 50 mcg
Sirup 5 mcg / ml

IDT 4,5 ; 9 mcg/semprot


2 -4  semprot,
2 x / hari

1 x 10 mg / hari,
Malam

2 x 50 mcg / hari
2 x 5 ml / hari

4,5 – 9 mcg
1 – 2 x / hari


1 - 2  semprot,
2 x / hari

-


2 x 25 mcg / hari
2 x 2,5 ml / hari

2 x 1 semprot
( > 12 tahun )

Keterangan:- Agonis β 2 kerja singkat digunakan sebagai pelega (reliever) pada   penatalaksanaan serangan akut asma. Sedangkan β 2 agonis kerja lama digunakan untuk mengontrol gejala asma (controller) pada asma persisten.

                   -   IDT (Inhalasi dosis terukur) = MDI (Metered-dose inhaler)


2. Antikolinergik
            Pada binatang dan manusia normal sebagian kecil tonus bronkomotor pada saat istirahat berhubungan dengan impuls tonus vagal yang melepaskan asetilkolin pada otot polos saluran nafas.  Bronkokonstriksi melalui mekanisme ini dapat diblok dengan obat-obat antikolinergik. Tidak seperti agonis β, antikolinergik sedikit mempunyai efek terhadap sel mast.2,3
2.1 Farmakodinamik
            Ipratroprium bromide merupakan antikolinergik yang paling luas digunakan. Diberikan secara inhaler baik dengan metered-dose-inhaler (MDI) maupun nebulizer. Onset bronkodilatasinya relatif lambat, biasanya 30-60 menit setelah inhalasi,tetapi efikasinya dapat menetap hingga 8 jam. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dengan MDI, atau dapat juga secara intermiten untuk mengontrol gejala.3
Oksitroprium bromide merupakan antikolinergik baru dengan efek kerja yang lebih panjang.
2.2 Indikasi
a. Asma
Antikolinergik kurang efektif sebagai bronkodilator pada asma bila dibandingkan dengan agonis β. Antikolinergik lebih efektif digunakan pada pasien tua. Pemberian dalam bentuk nebulizer dapat digunakan pada penanganan serangan asma akut yang berat.
b. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
Pada COPD antikolinergik sama efektif atau mungkin lebih superior bila dibandingkan dengan agonis β. Efek yang lebih baik pada pasien COPD dibandingkan dengan pasien asma karena penghambatan efek tonus vagal oleh antikolinergik.1

2.3 Efek samping
            Pemberian secara inhalasi umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Bila pemberian antikolinergik inhalasi dihentikan secara tiba-tiba dapat terjadi rebound bronkokonstriksi.
            Efek samping dari atropin bersifat dose-related berhubungan dengan antagonis kolinergik pada beberapa sistem organ selain paru. Efek tersebut diantaranya mulut kering, pandangan kabur, dan retensio urine. Tetapi efek samping ipratroprium sangat jarang karena obat ini tidak diabsorbsi dengan baik dari paru-paru sehingga konsentrasinya yang beredar di sirkulasi sistemik rendah. Ipratroprium bromide nebulizer dapat mencetuskan glaukoma pada pasien tua karena efek midriatiknya pada mata.1
            Bronkokonstriksi paradoksikal dapat terjadi pada pemberian ipratroprium bromide. Komplikasi ini timbul bila obat diberikan dengan nebulizer dimana larutannya bersifat hipotonisitas dan adanya tambahan antibakterial seperti benzalkonium klorida dan EDTA. Kadang-kadang dapat terjadi bronkokostriksi setelah pemberian ipratroprium bromide dengan MDI. Reaksi ini mungkin berhubungan dengan blok reseptor prejungsional muskarinik pada saraf kolinergik.1
Sediaan obat antikolinergik yang sering digunakan untuk penangan asma dan COPD di Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Sediaan dan dosis obat antikolinergik.4

Medikasi


Sediaan Obat

Dosis dewasa

Dosis anak
Ipratroprium bromid
IDT 20 mcg / semprot


Solutio 0,25 mg / ml
(0,025 % )
nebulisasi
40 mcg
3 – 4 x hari

0,25 mg
setiap 6 jam
20 mcg
3 – 4 x / hari

0,25 – 0,5 mg
setiap 6 jam

3. Metilsantin
3.1 Latar Belakang dan Farmakologi
            Efek bronkodilator dari strong coffee pada mulanya digambarkan oleh Hyde Salter. Metilsantin (teofilin) berhubungan dengan kafein dan telah digunakan untuk mengobati asma sejak tahun 1930-an. Sejak saat itu teofilin digunakan secara luas untuk pengobatan asma. Efek primer dari teofilin adalah relaksasi otot polos jalan nafas. Teofilin juga menghambat pelepasan mediator dari sel mast dan meningkatkan bersihan mukosilier. Namun, karena agonis β lebih efektif dan steroid inhalasi memiliki efek antiinflamasi yang lebih baik dibandingkan teofilin maka pemakaian teofilin menjadi berkurang.1
3.2  Struktur Kimia
          Teofilin adalah suatu metilsantin yang memiliki struktur kimia mirip dengan santin pada diet umum, kafein dan teobromin. Aminofilin adalah garam etilendiamin yang disintesis untuk meningkatkan kelarutan santin pada pH netral.
3.3 Cara Kerja
            Walaupun teofilin telah digunakan lebih dari 50 tahun namun cara kerjanya sebagai bronkodilator belum dipahami dengan jelas. Ada beberapa teori yang disampaikan antara lain:1
a. Penghambatan Fosfodiesterase
Efek bronkodilatasi dari teofilin adalah dengan cara menghambat enzim fosfodiesterase, suatu enzim yang bekerja menginaktifkan cAMP. Akumulasi konsentrasi cAMP intraseluler merupakan kunci utama bronkodilatasi.
b. Antagonis Reseptor Adenosin
            Pada konsentrasi terapeutik, teofilin merupakan penghambat yang poten terhadap adenosin. Hambatan ini memberikan efek bronkodilatasi. Dapat didemonstrasikan bahwa bronkokonstriksi yang diinduksi oleh adenosin dapat dicegah dengan pemberian teofilin.
c. Pelepasan Katekolamin Endogen
             Teofilin meningkatkan sekresi epinefrin dari medula adrenal. Peningkatan konsentrasi epinefrin di dalam darah menimbulkan efek bronkodilatasi.
d. Penghambatan Prostaglandin
            Teofilin melawan efek prostaglandin pada otot polos vaskuler secara invitro, tetapi belum ada bukti bahwa efek ini muncul pada konsentrasi terapeutik pada jalan nafas.
e. Influks Kalsium
            Teofilin mempengaruhi mobilisasi kalsium pada otot polos jalan nafas.
3.4 Farmakokinetik
            Ada hubungan yang kuat antara perbaikan fungsi jalan nafas dengan  konsentrasi teofilin. Konsentrasi <10 mg / l  efek terapeutiknya kurang, sebaliknya >25 mg / l menimbulkan efek samping. Konsekuensinya, dosis terapeutiknya adalah 10 – 20 mg/l.
            Aminofilin IV ( 85 % teofilin) telah digunakan selama beberapa tahun untuk penanganan serangan akut asma. Loading dosis yang direkomendasikan adalah 6 mg / kg BB yang diberikan selama 20 – 30 menit diikuti oleh dosis pemeliharaan 0,5 mg / kg BB per jam. Jika pasien telah menggunakan teofilin sebelumnya maka dosis loading-nya dikurangi.3,5    
            Teofilin tablet atau eliksir cepat diabsorpsi dari saluran cerna. Aminofilin dapat diberikan dalam bentuk supositoria tetapi mudah terjadi proktitis sehingga tidak dianjurkan. Pemberian dengan cara inhalasi kurang efektif disamping dapat menimbulkan iritasi. Sedangkan pemberian injeksi intramuskuler menimbulkan nyeri sehingga tidak direkomendasikan.1,3
3.5 Indikasi
            Pemberian aminofilin intravenus kurang efektif dibandingkan nebulizer agonis β  untuk pengobatan serangan akut asma. Aminofilin diberikan bila pemberian inhalasi agonis β tidak berespon dengan baik. Pemberian teofilin bersama-sama dengan agonis β mempunyai efek aditif. Teofilin juga dapat digunakan pada COPD.
3.6 Efek Samping dan Kontra Indikasi
            Efek yang tidak diinginkan berhubungan dengan konsentrasi obat dalam plasma, biasanya muncul pada konsentrasi > 20 mg/l. Efek samping yang paling sering adalah sakit kepala, mual muntah, abdominal discomfort dan restlessness. Dapat juga terjadi peningkatan sekresi asam lambung dan pengeluaran urin. Pada dosis tinggi dapat menimbulkabn aritmia dan kejang-kejang. Beberapa efek samping ( stimulai SSP, sekresi asam lambung, diuresis, dan aritmia) mungkin disebabkan oleh  antagonis reseptor adenosin. Hal ini dapat dicegah dengan obat seperti enprofilline yang tidak memblok reseptor ini pada dosis terapeutik. 1,5
Tabel 3. Sediaan dan dosis obat metilsantin 4
Medikasi
Sediaan
Dosis dewasa
Dosis anak
Teofilin
Aminofilin
Teofilin lepas lambat

Aminofilin lepas lambat
Tablet 130, 150 mg
Tablet 200 mg
Tablet 125, 250, 300 mg
400 mg
Tablet 225 mg
3 – 5 mg / kgBB / x
3 – 4 x / hari
2 x 125 – 300 mg
200 – 400 mg, 1 x / hari
2 x 1 tablet
3 – 5 mg / kgBB / x
3 – 4 x / hari
2 x 125 mg ( > 6 tahun)

½ - 1 tablet, 2 x ./ hari
( > 12 tahun)

Keterangan: Sediaan lepas lambat digunakan sebagai pengontrol (controller)
Peran perawat dalam pemberian obat-obat bronkodilator
Perawat bertanggung jawab dalam pemberian obat yang aman karena obat dapat menyembuhkan, namun sebaliknya obat dapat pula merugikan pasien. Perawat harus mengetahui semua komponen dari perintah pemberian obat dan menanyakan perintah tersebut jika tidak lengkap atau tidak jelas atau dosis yang diberikan di luar batas yang direkomendasikan.
Hal-hal yang harus diperhatikan oleh perawat adalah :
1.      Sebelum obat diberikan
a.       Kondisi pasien secara umum (muntah, sukar menelan, tidak dapat minum obat tertentu, dll). Juga harus diperhatikan faktor gangguan visual, pendengaran, intelektual, atau motorik pada pasien yang berpengaruh saat minum obat.
b.      Prinsip lima benar.
·         Benar pasien
·         Benar obat
·         Benar dosis
·         Benar cara atau rute pemberian obat
·         Benar waktu
c.       Pendidikan kesehatan yang diberikan kepada pasien sebelum memberikan obat.
2.      Selama obat diberikan
a.       Pantau dan awasi pemberian obat, yakinkan bahwa obat sudah diminum oleh pasien.
b.      Pada pemberian obat selain oral, dimana harus perawat sendiri yang  melakukan, obat tersebut sesui dengan prosedur pemberian.
3.      Setelah obat diberikan
a.       Awasi reaksi pasien setelah diberikan obat.
b.      Kontrak waktu untuk pemberian obat selanjutnya.
c.       Dokumentasi obat yang diberikan.

PENDIDIKAN KESEHATAN
           Pendidikan kesehatan yang perlu diberikan pada pasien dan keluarganya selain mengenai penyakitnya juga cara penggunaan  obat bronkodilator yang benar dan teknik pemberiannya, karena kegagalan seringkali akibat teknik yang keliru. Jelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa asma maupun COPD bukan merupakan penyakit yang dapat disembuhkan melainkan hanya bisa dikontrol. Bila pasien anak, orang tuanya harus dilibatkan. Pasien harus mengetahui obat mana untuk pelega (reliever) dan obat mana pengontrol/pencegah (controller).

DAFTAR PUSTAKA
  1. Barnes PJ, 1992. Pulmonary Disorders. In : Melmon KL, Morrelli HF, Hoffman BB, Nierenberg DW (editors). Clinical Pharmacology, Basic Principles in Therapeutics, third edition. McGRAW-HILL,INC.p 186-218
  2. Alasagaff H, Mukti HA, 2002. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Penerbit Airlangga University Press, Surabaya. Hal 292-95
  3. Arini Setiati, 1995. Adrenergik. Dalam: Ganiswarna SG, Setiabudi R, Suyatna FD, Purwantyastuti Nafrialdi (editor). Farmakologi dan Terapi, edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal 57-76
  4. Mangunnegoro H, Widjaja A, Kusumo D dkk, 2004. Asma, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ( Tim Kelompok Kerja Asma). Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hal 28-79
  5. Purwanto SL, Budipronoto G, Sembiring SU, Effendie R, Kamil, Virginia, Slamet A, Widodo K, 1994. DOI, Data Obat di Indonesia, edisi 9. Penerbit PT Grafidian Jaya, Jakarta. Hal 307-312, 374-378, 522-523










0 comments:

Post a Comment