BAB I
PENDAHULUAN
1.1. SEJARAH USADA
Kata usada yang berasal dari bahasa Sansekerta, yakni ausadhi, maka diperkirakan bahwa lontar usada yang ada di Bali isinya diambil dari pengetahuan pengobatan di India. Ketika masalah pengobatan telah berkembang pesat di India terjadi hubungan langsung antara India dengan Bali, maka usada ini ikut pula menyusup dan meresap di masyarakat Bali. Diduga bersamaaan dengan perkembangan agama Hindu di Bali pada abad V usada ini turut pula menyebar di daerah Bali. Untuk mengetahui secara pasti kapan usada ini mulai muncul dan meluas di Bali tidaklah dapat dikatakan secara pasti. Hanya dapat diperkirakan berdasarkan beberapa peninggalan prasasti yang tersebar di berbagai tempat dan dari sumber lainnya, kapan kira-kira usada itu mulai ada dan berkembang di Bali (Nala, 1996).
Pada permulaan abad XI datanglah ke Bali seorang empu dari Jawa Timur yang digelari Empu Kuturan. Setelah berkeliling di Bali, akhirnya beliau mengambil keputusan untuk menetap di desa Silayukti, Padangbai, Karangasem. Di samping menyebarkan pengertian tentang agama Hindu, beliau banyak pula menghasilkan konsep-konsep baru dan menerapkan pendirian sanggah atau merajan serta pura kawian untuk tempat pemujaan leluhur dari sekelompok keluarga, dan dibangun pura kahyangan tiga untuk tempat pemujaan warga sebuah desa. Pura kahyangan tiga hendaknya dibangun di setiap desa, sebagai lambang utpati – sthiti – pralina, lahir - tumbuh – mati, membangun – memelihara – memusnahkan yang selalu ada di setiap desa. Wujud dari kahyangan tiga di desa itu berbentuk pura Puseh, Desa atau Bale Agung, dan Dalem. Di setiap pura itu disungsung salah satu Dewa Tri Murti. Di pura Desa disungsung Dewa Brahma, lambang utpati, dewa kelahiran dan pencipta, dengan warna merah sebagai simbolnya. Dewa Wisnu sebagai Dewa sthiti, yakni dewa pemelihara dan pengembangan, dengan simbol warna hitam, disungsung di Pura Puseh. Dan di Pura Dalem disungsung Dewa Siwa, Dewa pralina, lambang dewa kematian dengan simbol warna putih (Nala, 1996).
Pada waktu pemerintahan Raja Waturenggong di Gelgel Bali pada tahun 1460-1550 datanglah dari Jawa Timur seorang bhagawan bernama Dang Hyang Dwijendra. Beliau merupakan seorang yang amat tinggi pengetahuannya di semua bidang, termasuk di dalam bidang ilmu pengobatan. Beliau mampu menyembuhkan hampir segala macam penyakit. Beliaulah yang mengembangkan sistem pengobatan di Bali yang dikaitkan dengan sistem mistik-putih, yang terkenal dengan sebutan angen balian sakti. Pada waktu beliau datang, di Bali sebenarnya telah ada pula sistem pengobatan yang sudah ada sejak jaman dahulu. Sistem ini diwariskan turun-temurun tanpa ditulis. Sejak datangnya Dang Hyang Dwijendra inilah penulisan Usada lebih digalakkan lagi, yang telah dirintis oleh para pendahulunya, termasuk Empu Kuturan. Maka bermunculanlah berbagai macam usada yang ditulis di atas daun lontar, seperti Usada Sari, Budha Kecapi, Kalima Usada, Taru Premana, Dharma Usada yang bersifat umum dan beberapa usada yang menjurus ke penyakit khusus, seperti Usada Dalem (penyakit dalam), Netra (mata), Sasah Bebai (penyakit bebainan), Buduh (gila), Tatenger Beling (mendiagnosis kehamilan), Upas (Racun, bisa) dan masih banyak lainnya lagi. Di samping itu, ada pula berbentuk tutur yangditulis juga di atas daun lontar, tetapi isinya tentang filsafat sehat sakit, aksara sakti, gambar lambing yang sulit dicerna oleh orang awam. Lontar tutur ini penyimpanannya amat dirahasiakan dan dihormati lebih dari lontar usada. Menurut beberapa ahli kebalianan, orang yang tidak teguh imannya dapat menjadi gila kalau membaca lontar tutur ini. Karena itulah dipingitkan sekali keberadaan lontar ini agar tidak dibaca oleh anak-anak dan orang yang tidak teguh pikirannya (Nala, 1996).
Jika disimak lebih dalam isi lontar tutur maupun usada yang beredar di Bali, sumber utamanya kebanyakan dari kitab Ayurveda. Kitab ini bukanlah kitab suci Yajur Veda yang merupakan salah satu dari kitab suci Catur Samhita Veda Sruti. Kitab Ayurveda ini adalah bagian dari kitab Upaveda dari Veda Smerti. Memang beberapa bagian dari isi kitab Ayurveda ini diambil dari kitab Atharva Veda yang banyak memuat tentang ilmu pengobatan beserta doa-doanya. Kitab Atharva Veda ini memang bagian dari kitab suci Catur Samhita Veda Sruti (Nala, 1996).
1.2. FILOSOFI USADA
Kata Usada berasal dari kata Usadhi (bahasa Sansekerta) yang artinya tumbuh-tumbuhan yang mengandung khasiat obat-obatan. Di beberapa daerah kata Usada ini telah dijadikan bahasa Bali, sehingga menjadi wisada, yang berarti ubad, tamba, atau obat. Lontar Usada yaitu lontar yang menguraikan tentang penyakit, nama-nama penyakit, pemberian obat penyembuhan dengan cara-caranya. Di Propinsi Bali diperkirakan terdapat kurang lebih 50.000 buah Lontar Usada yang tersebar di seluruh desa-desa yang ada, dan beberapa ribu diantaranya telah disimpan di Gedung Kirtya Singaraja, Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Pusat Dokumentasi Pemda Tingkat I Bali di Denpasar (Suputra, 2009).
Sarana atau bahan obat yang dipergunakan dalam lontar Usada berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan. Nama tanaman yang terdapat dalam Lontar Usada tersebut menggunakan Bahasa Daerah Bali, Bahasa Kawi, Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Sansekerta, disamping itu juga sering ditemukan penggunaan nama tanaman dengan nama akronim atau sinonim (Suputra, 2009).
Cara penggunaan obat yang terdapat dalam Lontar Usada, pada umumnya dilakukan secara tradisional seperti dijadikan loloh/obat minum, tutuh (pemberian obat dengan jalan mengisap cairan melalui hidung atau dengan meneteskan pada hidung), berupa boreh/parem, urap/usug/obat gosok, ada pula yang berupa minyak yang dioleskan pada tubuh (Suputra, 2009).
1.3. USADA TIWAS PUNGGUNG
Tiwas Punggung merupakan ilmu atau ajaran Sang Hyang Punggung tiwas yang terdiri dari “Sepuluh Rumusan Huruf” dimana kesepuluh huruf tersebut adalah “Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang” dimana wujudnya secara berurutan adalah sebagai berikut:
Selanjutnya, masing-masing huruf itu dapat dijelaskan dan diuraikan atas, letaknya dalam mikrokosmos (badan manusia = buana alit), dewanya serta warnanya dan tempat penjurunya. (mata angin) sebagai berikut :
Tabel 1. Sepuluh Rumusan Huruf Usada Tiwas Punggung
Urut | Bunyi | Huruf | Letak dalam Badan | Dewa | Warna | Letak dalam Penjuru Alam |
1. | Sang | Jantung | Iswara | Putih | Timur | |
2. | Bang | Hati | Brahma | Merah | Selatan | |
3. | Tang | Buah pinggang | Mahadewa | Kuning | Barat | |
4. | Ang | Empedu | Wisnu | Hitam | Utara | |
5. | Ing | Pertengahan hati | Siwa | Tangi/ungu | Tengah | |
6. | Nang | Paru-paru | Maheswara | Dadu | Tenggara | |
7. | Mang | Usus | Ludra | Jingga | Barat daya | |
8. | Sing | Limpa | Sangkara | Hijau | Barat laut | |
9. | Wang | Anus | Sambu | Biru | Timur laut | |
10. | Yang | Susunan rangkai Hati | Guru | Panca warna | Tengah |
Kesepuluh Rumusan Huruf ini dapat disingkat menjadi 5 huruf saja yang berbeda bentuk dan suaranya. Cara penyingkatan adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Lima Rumusan Huruf Usada Tiwas Punggung
Urut | Huruf | Letak dalam Badan | Dewa | Warna | Letak dalam penjuru alam | ||
Yang digabung | Huruf akhir | Bunyi | |||||
1. | 1+6 | Mang | Jantung | Iswara | Putih | Timur | |
2. | 2+7 | Ang | Hati | Brahma | Merah | Selatan | |
3. | 3+8 | Ong | Buah pinggang | Mahadewa | Kuning | Barat | |
4. | 4+9 | Ung | Empedu | Wisnu | Hitam | Utara | |
5. | 5+10 | Yang | Rangkaian susunan hati | Siwa | Lima warna | Tengah |
Selanjutnya lima huruf tersebut dapat disingkat lagi menjadi empat huruf dengan mempersatukan huruf Ang dengan Yang yang suaranya tetap didominasi oleh Ang. Jadi susunan 4 aksara tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Empat Rumusan Huruf Usada Tiwas Punggung
Urut | Huruf | Bunyi | Letak | Dewa | Warna |
1. | Mang | Jantung | Iswara | Putih | |
2. | Ang | Hati | Brahma | Merah | |
3. | Ong | Buah pinggang | Mahadewa | Kuning | |
4. | Ung | Empedu | Wisnu | Hitam |
0 comments:
Post a Comment