19 November 2011

gel sulfur sediaan farmasi



TINJAUAN FARMAKOLOGI

1.1   Indikasi
Sulfur diindikasikan untuk pengobatan topical acne vulgaris (mengatasi masalah jerawat), ance rosarea, dermatitis seborrheic. Sulfur memiliki khasiat bakterisid dan fungisid lemah berdasarkan dioksidasinya menjadi asam pentathionat (H2S5O6) oleh kuman tertentu dikulit. Zat ini juga bersifat keratolitis( melarutkan kulit tanduk), sehingga banyak digunakan bersama asam salisilat dalam salep dan lotion (2-10%) untuk pengobatan jerawat dan kudis. Sulfur precipitatum adalah yang paling aktif, karena serbuknya yang terhalus. Dahulu zat ini digunakan sebagai laksans lemah berkat perombakan dalam usus menjadi sulfide (natrium/kalium) yang merangsang peristaltic usus (Tjay dan Rahardja, 2008). Selain itu, sulfur juga biasa digunakan untuk terapi acne, dandruff atau ketombe, scabies, seborroic condition atau kelebihan minyak pada kulit kepala, dan infeksi jamur permukaan. Scabies merupakan infeksi parasit pada kulit yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei (kompedia). Gejala utamanya adalah pruritus, dimana disebabkan karena reaksi alergi pada parasit. Sulfur juga digunakan sebagai mild irritant laxative dan obat homoeopathic medicine (Sweetman,2002).

1.2  Farmakokinetik
Absorpsi, distribusi dan eliminasi dari sulfur tidak dapat dikarakterisasi seluruhnya. Pemakaian sulfur secara topikal terpenetrasi ke dalam kulit dan mencapai epidermis dalam waktu 2 jam setelah digunakan dan melewati kulit selama 8 jam. Obat tidak terdeteksi dalam kulit 24 jam setelah digunakan. Absorpsi perkutan obat ke dalam sirkulasi sistemik dilaporkan terjadi setelah penggunaan topikal dari 25 % salep sulfur yang dioleskan pada kulit hewan. Tetapi, tidak terjadi ketika obat digunakan pada kulit yang tidak rusak (McEvoy, 2002).



1.3  Mekanisme
Sulfur digunakan untuk terapi acne (jerawat) tetapi tidak diketahui mekanisme aksinya. Tetapi telah dilaporkan bahwa sulfur dapat menghambat pertumbuhan jerawat yang diakibatkan oleh propionibacterium dan pembentukan asam lemak bebas. Sulfur mengeluarkan kelebihan sebum pada wajah dengan cara melunakkan sel keratin. Sulfur bekerja sebagai keratolitik agent yaitu suatu zat yang dapat menghilangkan sisik-sisik kulit yang kasar atau melunakkan/menipiskan lapisan keratin, disamping itu juga memiliki aktivitas antifungi dan antibakteri lemah. Sulfur sering dikombinasikan dengan asam salisilat menghasilkan efek keratolitik yang sinergis. Sulfur dipakai sebesar 10% adalah dosis yang optimal sebagai keratolotik agent dan merupakan dosis maksimum untuk terapi scabies/kudis sehingga akan mendapatkan hasil yang efektif (Sweetman,2002).

1.4  Efek Samping
Pemakaian sulfur secara topikal dapat mengakibatkan iritasi dan dilaporkan pula adanya dermatitis setelah pemakaian berulang-ulang. Kontak dengan mata, mulut, dan membran mukosa lain sebaiknya dihindari. Kontak dengan sulfur dapat merubah warna logam tertentu seperti misalnya perak, dan pemakaian sulfur dengan komponen merkurial secara topikal dapat menghasilkan turunan hidrogen sulfida yang berbau busuk dan dapat dapat menimbulkan noda hitam pada kulit (Sweetman, 2002). Hidrogen peroksida dapat mengakibatkan iritasi pada saluran pernafasan atas dan konjungtiva. Udime pada paru-paru, dengan sesak nafas parah dan sianosis dapat meningkat dengan tiba-tiba sampai 36 jam setelah pemaparan. Kematian juga dilaporkan dapat terjadi (Martin, 2007).
1.5 Kontra Indikasi
Hipersensitifitas terhadap sulfur dan bahan tambahan lainnya (Anonim b, 2007).


1.6 Peringatan
Hanya untuk pemakaian luar, hindari kontak dengan mata dan membran mukosa. Jangan sampai terkena mata, jika terkena mata cepat cuci dengan air. Jangan digunakan pada luka terbuka (Anonim b, 2007).

1.7  Interaksi Obat
Penggunaan sulfur dengan sediaan topikal yang mengandung merkuri akan membentuk hidrogen sulfida yang dapat menyebabkan kulit menghitam (Sweetman,2002).

1.8  Penyimpanan
Simpan dalam wadah tertutup baik ( DepKes RI, 1995).



















BAB II
SIFAT FISIKO KIMIA OBAT

2.1 Bahan Obat/ Bahan Aktif
Sulfur Precipitatum
ü  Definisi                : Sulfur merupakan belerang endap, mengandung tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih dari 100,5% S, dihitung terhadap zat anhidrat.
ü  Pemerian : Serbuk amorf atau serbuk hablur renik; sangat halus; warna kuning  pucat; tidak berbau dan tidak berasa.
ü  Berat Molekul      : 32,06 gram/mol
ü  Titik lebur            : 388,6 K atau 115, 210C (DepKes RI, 1979)
ü  Kelarutan             : Praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam karbondisulpida P. Sukar dalam minyak zaitun P, sangat sukar larut dalam etanol (95%)P (DepKes RI, 1979).
ü  Stabilitas : Preparasi yang mengandung sulfur dapat bereaksi dengan logam termasuk perak, dapat menyebabkan logam mengalami perubahan warna. Preparasi yang mengandung sulfur sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup baik (Mc Evoy, 2002).
ü  Inkompatibilitas :  Inkompatibilitas dengan alkali, logam alkali, bromin, klorat, klorin dioksida, nitrat, kalium (Anonim a, 2006).
ü  Penyimpanan       : Dalam wadah tertutup baik (DepKes RI, 1995).

2.2  Bahan Tambahan
  1. Natrium Karboksimetilselulosa (Na-CMC)
Struktur Kimia
http://localhost:1046/excipients/current/images/ExcCarboxymethylcelluloseSodiumC001.gif



ü Pemerian            : serbuk atau granul, berwarna putih, dan tidak berbau.
ü Kelarutan           : praktis tidak larut dalam aseton, etanol 95%, eter, dan  toluen. Mudah terdispersi dalam air dan dalam larutan koloid.
ü Keasaman           : stabil pada pH 2- 10 (dalam larutan)
ü
Stabilitas dan kondisi penyimpanan
 
Titik lebur           : 2270 C (DepKes RI,1979)
ü                            : CMC Na merupakan senyawa yang stabil, bersifat higroskopis. Pada kondisi dengan kelembaban yang tinggi CMC Na dapat menyerap air > 50%. Pada larutan air CMC Na stabil dalam pH 2-10, dan akan terjadi pengendapan pada pH dibawah 2, serta penurunan viskositas dapat terjadi dengan cepat pada pH diatas 10 (Mc Evoy, 2002).
ü Inkompatibilitas : Na CMC inkompatibel dengan larutan asam kuat, bentuk garam dari besi dan logam lain (aluminium, seng, merkuri). Pengendapan terjadi pada pH kurang dari 2 dan jika dicampur dengan etanol 95%. Na CMC akan membentuk kompleks dengan gelatin, kolagen, dan pektin
ü Penggunaan `       : Gelling agent (DepKes RI, 1995).
ü Digunakan  dalam sediaan (pembentuk gel) :  3,0 – 6,0%
(Rowe,2003)
b.      Gliserin
ü Pemerian      :  cairan jernih seperti sirup, tidak berwarna; rasa manis; hanya boleh berbau khas lemah (tajam atau tidak enak). Higroskopik : netral terhadap lakmus.
ü Kelarutan     :  dapat bercampur dengan air dan dengan ethanol; tidak larut dalam kloroform, dalam eter, dalam minyak lemak dan dalam minyak menguap.
ü Bobot jenis   : tidak kurang dari 1,249.
ü Penggunaan : Sebagai zat pembasah (Depkes RI, 1995).
ü Menurut literatur banyaknya gliserin yang harus digunakan agar dapat berfungsi sebagai humectant adalah sebesar < 30%


c.       Metil Paraben (Methyl parahydroxybenzoate)

                                     
                               Struktur Kimia

ü Rumus molekul    : C8H8O3
ü Berat molekul      : 152.15 g/mol
ü Pemerian               :  hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur, berwarna putih, tidak berbau atau berbau khas lemah, mempunyai sedikit rasa terbakar. (DepKes RI, 1979)
ü Kelarutan              : Mudah larut dalam 2 bagian etanol, dalam 3 bagian etanol (95%), dalam 6 bagian etanol (50%), dalam 10 bagaian eter, larut dalam 60 bagian gliserin, praktis tidak larut dalam minyak mineral, larut dalam 200 bagian minyak kacang, mudah larut dalam 5 bagian propilen glikol,  larut dalam 400 bagian air dalam 50 bagian air (50°C) dan dalam 30 bagian air (80°C) (Anonim a, 2006).
ü Suhu lebur           :    125 - 128  °C (DepKes RI, 1979)
ü Berat jenis            :    1,352 g/cm3
ü pKa                       :    8.4 at 22°C (Anonim a, 2006)
ü Stabilitas              : Larutan cair metil paraben pada pH 3–6 dapat disterilkan dengan autoklaf pada suhu 120°C selama 20 menit, tanpa terdekomposisi. Larutan  pH 3–6  stabil  (kurang dari  10% terdekomposisi) sekitar 4 tahun pada temperatur ruangan. Sementara larutan  pH 8  atau lebih terhidrolisis dengan cepat (10% atau lebih sekitar 60 hari pada temperatur ruangan).
ü Penympanannya :    dalam wadah tertutup baik (Anonim a, 2006).
ü Inkompatibilitas :     Aktivitas aktibakteri metil paraben dan paraben lainnya akan menurun jika terdapat surfaktan ninionik, seperti polisorbat 80, yang dapat menghasilkan misel. Walaupun propilenglikol (10%) menunjukkan potensi pada aktivitas antibakteri paraben dalam keberadaan surfaktan nonionik dan mencegah interaksi antara metil paraben dan polisorbat 80. Inkompatibilitas dilaporkan terjadi dengan substansi lain seperti bentonit, magnesium trisilikat, talk, tragacanth, sodium alginat, minyak essensial, sorbitol, dan  atropin. Metilparaben juga bereaksi dengan beberapa gula dan gula alkohol. Absorpsi metilparaben oleh plastik. Polietilen dengan berat jenis rendah dan tinggi tidak menyerap metil paraben. Metilparaben kehilangan warnanya dengan keberadaan tembaga dan terhidrolisis dengan basa lemah dan asam kuat (Anonim a, 2006).
ü Digunakan  dalam sediaan :  0,02–0,3% (Rowe,2003)
ü Penggunaan : Pengawet (Anonim a, 2006).

d.      Aqua Purificata
ü  Rumus molekul :    H2O; BM 18,02.
ü  Definisi              :    Air murni adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi, perlakuan menggunakan penukar ion, osmosis balik, atau proses lain yang sesuai. Dibuat dari air yang memenuhi persyaratan air minum. Tidak mengandung zat tambahan lain (catatan: Air murni digunakan untuk pembuatan sediaan-sediaan). Bila digunakan untuk sediaan steril, selain untuk sediaan parenteral, air harus memenuhi persyaratan uji sterilitas atau gunakan air murni steril yang dilindungi terhadap kontaminasi mikroba. Tidak boleh menggunakan air murni untuk sediaan parenteral. Untuk keperluan ini digunakan air untuk injeksi, air untuk injeksi bakteriostatik atau air steril untuk injeksi.
ü  Pemerian            :   cairan jernih, tidak berwarna; tidak berbau.
ü  pH                      : antara 5,0 dan 7,0; lakukan penetapan secara potensiometrik pada larutan yang ditambahkan 0,30 mL larutan kalium klorida P jenuh pada 100 mL zat uji.
ü  Kemurnian bakteriologi : memenuhi syarat air minum.
ü  Wadah dan penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat
                                                                                          (DepKes RI, 1995).

  1. Aqua rosa
ü  Pemerian : Cairan bening, berbau khas mawar.
ü  Penggunaan : pemberi aroma pada sediaan


















BAB III
BENTUK BAHAN,DOSIS, DAN CARA PEMAKAIAN

3.1 Bentuk/Kekuatan Sediaan
Bentuk sediaan yang dibuat adalah dalam bentuk gel.  Gel terkadang disebut jeli, merupakan sistem semipadat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan.  Penampilan gel, transparan atau berbentuk suspensi partikel koloid yang terdispersi, dimana dengan jumlah pelarut yang cukup banyak membentuk gel koloid yang mempunyai struktur tiga dimensi. Gel dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara topikal atau dimasukkan ke dalam lubang tubuh (DepKes RI, 1995).
3.2 Dosis
      Dalam 10 g sediaan Sulfagel, mengandung 8 % (0,8 g) sulfur. Oleskan 2 kali sehari (Anonim b,2007)
3.3 Cara Pemberian
Keluarkan gel secukupnya pada ujung jari lalu oleskan pada bagian yang berjerawat.














BAB IV
MACAM-MACAM FORMULA

4.1 Macam Formula (Baku/Standar)
v  Formulasi 1
R/     Sulfur                                                  0,8 g (8%)
CMC Na                                0,9 g (9%)
Polietilen glikol                       2 g (20%)
Aqua purificata                       2,8 mL (28%)
Propilen glikol 1,5 g setara dengan 1,5 mL BJ = 1,035 (14%)
Aqua rosa                                2 mL (20%)
Metil paraben                          30 mg (0,2%)

v  Formula  2 :
R/     Sulfur              0,8 g
Carbopol 940
TEA
Gliserin
Aqua rosa 
Metil paraben

v  Formulasi 3
R/    Sulfur                          0,8       g
                        CMC                           1          g
                        Nipagin                       0,01     g
                        Gliserin                        0,162   g                     
                        Aqua Rosa                  qs
                        Air                               8          mL
                        Dibuat gel dengan berat 10 g


4.2 Formula yang diajukan
R/ Sulfur  0,8 g (8%)
CMC-Na 0,6 g (6%)
Metil Paraben 20 mg (0,2%)
Gliserin 2,0 g (20%)
Aqua puripicata
Aqua rosa                   qs
4.3      Permasalahan
a.       Sulfur memiliki bau yang tidak sedap
b.      Sulfur memiliki sifat praktis tidak larut dalam air (DepKes RI, 1995).
c.       Sediaan gel mengandung air yang merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri.

4.4   Penyelesaian Permasalahan
a.       Ditambahkan aqua rosa untuk memberi sedikit aroma wangi pada sediaan, sehingga bau dari sulfur yang tidak sedap dapat diatasi. Jumlah aqua rosa yang ditambahkan hanya secukupnya.
b.      Pada pembuatan sediaan, zat aktif sulfur dibasahi dengan menambahkan zat pembasah seperti gliserin dimana gliserin ini bekerja dengan cara mengusir udara yang ada di permukaan serbuk sulfur sehingga serbuk sulfur tersebut akan lebih mudah terbasahi setelah itu barulah ditambahkan air sebagai cairan pembawa.
c.       Pada sediaan gel perlu ditambahkan dengan zat pengawet seperti metil paraben yang berfungsi untuk mencegah pertumbuhan bakteri dalam sediaan yang dibuat.

4.5 Penimbangan Bahan
Untuk pembuatan 1 tube sediaan dengan bobot 10 gram maka jumlah masing-masing bahan yang diperlukan :


a. Sulfur
b. Gliserin
2 gram
c. CMC-Na
d. Metil paraben
e. Aqua purificata
f. Aqua rosa
Aqua rosa = optimalisasi

         Dibuat gel sebanyak 2 tube, sehingga dalam penimbangan zat yang digunakan dikalikan 2 dari formulanya.

               Tabel Penimbangan Bahan
No.
Bahan
Persentase
Fungsi
Jumlah Total
Penimbangan
1.
Sulfur
8%
Zat aktif
 1,6 g
1,68 g (+5%)
2.
CMC-Na
6%
Gelling agent
1,2  g
2,16 g (+20%)
3.
Metil paraben
0,2%
Zat pengawet
40 mg
48 mg (+20%)
4.
Gliserin
20%
Zat pembasah
4 g
4,8 g (+20%)
5.
Aqua purificata
Ditambahkan 98 bagian untuk mengembangkan 2 bagian CMC
Pelarut
58,8 ml
6,72 mL (+20%)
6.
Aqua rosa
Qs
Pewangi
Qs
Qs


























BAB V
PROSEDUR KERJA

3.1  Alat dan Bahan
4.1.1. Alat
·         Timbangan
·         Mortir
·         Gelas ukur
·         Sudip
·         Penangas air
·         Sendok tanduk
·         Pipet tetes
·         Beker glass
·         Botol timbang
·         Pot Salep

4.1.2. Bahan
·         Sulfur precipatum
·         CMC-Na
·         Gliserin
·         Aqua rosa
·         Aqua destilata
·         Metil paraben







3.2  Cara kerja
Semua bahan-bahan yang diperlukan ditimbang secara seksama
    
Serbuk sulfur yang telah ditimbang digerus bersama dengan gliserin hingga homogen, lalu ditambahkan metil paraben, digerus homogen


 

Dibuat mucilago  CMC-Na dalam aqua purificata dengan cara menaburkan sejumlah CMC-Na serbuk yang telah ditimbang di atas penangas air, dengan suhu yang dijaga.


 


Dituang sedikit demi sedikit mucilago yang telah terbentuk ke dalam campuran no. 2

Ditambahkan aqua rosa secukupnya agar bau sulfur yang tidak enak tertutupi

Dimasukkan ke dalam pot salep sebanyak 10 g dan diberi etiket serta dimasukkan ke dalam kemasan













BAB VI
EVALUASI SEDIAAN

6.1 EVALUASI FISIKA
6.1.1 Organoleptis
                     Pemeriksaan organoleptis meliputi bentuk, warna dan bau yang diamati secara visual.
6.1.2        Homogenitas
Pengujian homogenitas dilakukan dengan mengoleskan zat yang akan diuji pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, harus menunjukkan susunan yang homogen (DepKes RI, 1979).
6.1.4        Uji Daya Sebar
            Uji daya sebar ditentukan dengan cara berikut.                                          Sebanyak  0,5  gram gel diletakkan  dengan hati-hati  di  atas  kertas  grafik  yang dilapisi  plastik  transparan,  dibiarkan sesaat  (15  detik)  dan  luas  daerah  yang diberikan  oleh  sediaan  dihitung kemudian tutup lagi dengan plastik yang  diberi beban tertentu masing-masing 1, 2,  dan  5  g  dan  dibiarkan  selama  60  detik pertambahan  luas  yang  diberikan  oleh sediaan dapat dihitung (Voigt, 1994).

6.2 EVALUASI KIMIA
6.2.1  Pengukuran pH
  Alat  pH  meter  dikalibrasi menggunakan larutan dapar pH 7 dan pH 4.  Satu  gram  sediaan  yang  akan diperiksa  diencerkan  dengan  air  suling hingga  10  mL.  Elektroda  pH  meter dicelupkan  ke  dalam  larutan  yang diperiksa,  jarum  pH meter  dibiarkan bergerak  sampai  menunjukkan  posisi tetap,  pH  yang  ditunjukkan jarum  pH meter dicatat (DepKes RI, 1995).
6.2.2 Keseragaman Sediaan
Persyaratan ini digunakan untuk sediaan mengandung satu zat aktif dan sediaan mengandung dua atau lebih zat aktif. Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu metode dari dua metode, yaitu:

-          Keseragaman bobot
Keseragaman ini dapat diterapkan pada produk kapsul lunak berisi cairan, atau pada produk yang mengandung zat aktif 50 mg atau lebih yang merupakan 50% atau lebih, dari bobot, satuan sediaan. Persyaratan keseragaman bobot dapar diterapkan pada sediaan padat (termasuk sediaan padat steril) tanpa mengandung zak aktif atau inaktif yang ditambahkan, yang telah dibuat dari larutan asli dan dikeringkan dengan cara pembekuan dalam wadah akhir dan pada etiket dicantumkan cara penyiapan ini.
-          Keseragaman kandungan
Keseragaman dari zat aktif lain, jika ada dalam jumlah yang lebih kecil, dipersyaratkan dengan keseragaman kandungan. Keseragaman ini juga dapat diterapkan pada semua sediaan. Uji keseragaman kandungan diperlukan pada tablet bersalut, termasuk tablet bersalut selaput, untuk sistem transdermal, untuk sediaan suspensi dalam wadah dosis tunggal atau dalam kapsul lunak, dan untuk inhalasi bertekanan dengan dosis terukur. Uji ini juga diperlukan untuk sediaan padat (termasuk sediaan padat steril) yang mengandung bahan inaktif atau aktif yang ditambahkan. Kecualii bahwa uju keseragaman bobot dapat diterapkan untuk situasi khusus seperti tercantum di atas (Depkes RI, 1995).
6.2.3 Penetapan Kadar
Ditimbang ± 60 mg dengan seksama, lakukan penetapan seperti yang tertera pada Pembakaran dengan Labu Oksigen (50 L) menggunakan labu 1000 mL dan campuran 10  mL air dan 5,0 mL hydrogen peroksida LP sebagai cairan penyerap. Jika pembakaran telah sempurna isi bibir labu dengan air dan buku sumbat. Panaskan isi labu sampai mendidih dan didihkan selama lebih kurang 2 menit. Dinginkan sampai kamar dan titrasi dengan natrium hidroksida 0,1 N NV menggunakan indikator fenolftalein LP. Lakukan penetapan blanko (Depkes RI, 1995).



6.3  EVALUASI BIOLOGI
6.3.1 Uji Efektivitas Pengawet Antimikroba
Pengawet antimikroba adalah zat yang ditambahkan pada sediaan obat untuk melindungi sediaan terhadap kontaminasi mikroba. Pengawet digunakan terutama pada wadah dosis ganda untuk menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat masuk secara tidak sengaja selama atau setelah proses produksi. Zat antimikroba tidak boleh digunakan semata-mata untuk menurunkan jumlah mikroba viabel sebagai pengganti cara produksi yang baik. Bagaimanapun juga dapat timbul keadaan yang memerlukan penggunaan pengawet untuk menekan perkembangbiakan mikroba. Harus diakui bahwa adanya mikroba yang telah mati atau hasil metabolisme mikroba yang hidup dapat menimbulkan efek negatif pada orang yang peka.
Setiap zat antimikroba dapat bersifat pengawet, meskipun demikian semua zat antimikroba adalah zat yang beracun. Untuk melindungi konsumen secara maksimum, pada penggunaan harus diusahakan agar pada kemasan akhir kadar pengawet yang masih efektif lebih rendah dari kadar yang dapat menimbulkan keracunan pada manusia.
Pengujian berikut dimaksudkan untuk menunjukkan efektivitas pengawet antimikroba yang ditambahkan pada sediaan dosis ganda yang dibuat dengan dasar atau bahan pembawa berair seperti produk-produk parenteral, telinga, hidung, dan mata, yang dicantumkan pada etiket produk bersangkutan. Pengujian dan persyaratan hanya berlaku pada produk di dalam wadah asli belum dibuka yang didistribusikan oleh produsen.
Mikroba uji :  
Gunakan biakan mikroba berikut : Candida albicans (ATCC No.:0231), Aspergillus niger (ATCC No.16404), Escherichia coli (ATCC No.8739), Pseudomonas aeruginosa (ATCC No. 9027) dan Staphylococcus aureus (ATCC No. 6538). Selain mikroba yang disebut di atas, dapat digunakan mikroba lain sebagai tambahan terutama jika dianggap mikroba bersangkutan dapat merupakan kontaminan selama penggunaan sediaan tersebut.
Media :
Untuk biakan awal mikroba uji, pilih media agar yang sesuai untuk pertumbuhan yang subur mikroba uji, seperti Soybean-Casein Digest Agar Medium.
Pembuatan inokula :
Sebelum pengujian inokulasi permukaan media agar bervolume yang sesuai, dengan biakan persediaan segar mikroba yang akan digunakan. Inkubasi biakan bakteri pada suhu 300 sampai 350 selama 18-24 jam, biakan Candida albicans pada suhu 200 hingga 250 selama 48 jam dan biakan Aspergillus niger  pada suhu 200 hingga 250 selama 1 minggu.
Gunakan larutan natrium klorida P 0,9% steril untuk memanen biakan bakteri dan Candida albicans, dengan mencuci permukaan pertumbuhan dan hasil cucian dimasukkan ke dalam wadah yang sesuai dan tambahkan larutan natrium klorida P 0,9% steril secukupnya untuk untuk mengurangi angka mikroba hingga lebih kurang 100 juta per ml. Untuk memanen Aspergillus niger, lakukan hal yang sama menggunakan larutan natrium klorida P 0,9% steril yang mengandung polisorbat S0 P 0,03% dan atur angka spora hingga lebih kurang 100 juta per ml dengan penambahan larutan natrium klorida P 0,9% steril.
Sebagai alternatif, mikroba dapat ditumbuhkan di dalam media cair yang sesuai, dan panenan sel dilakukan dengan cara sentrifugasi, dicuci, dan disuspensikan kembali dalam larutan natrium klorida P 0,9% steril sedemikian rupa hingga dicapai angka mikroba atau spora yang dikehendaki.
Tetapkan jumlah satuan pembentuk koloni tiap ml dari setiap suspensi, dan angka ini digunakan untuk menetapkan banyaknya inokula yang digunakan pada pengujian. Jika suspensi yang telah dibakukan tidak segera digunakan, suspensi dipantau secara berkala dengan metode lempeng Angka Mikroba Aerob Total untuk menetapkan penurunan viabilitas.
Untuk memantau angka lempeng sediaan uji yang telah diinokulasi, gunakan media agar yang sama seperti media untuk biakan awal mikroba yang bersangkutan. Jika tersedia inaktivator pengawet yang khas, tambahkan sejumlah yang sesuai ke dalam media lempeng agar.
Prosedur :
Jika wadah sediaan dapat ditembus secara aseptik menggunakan jarum suntik melalui sumbat karet, lakukan pengujian pada 5 wadah asli sediaan. Jika wadah sediaan tidak dapat ditembus secara aseptik, pindahkan 20 ml sampel ke dalam masing-masing 5 tabung bakteriologik bertutup, berukuran sesuai dan steril. Inokulasi masing-masing wadah atau tabung dengan salah satu suspensi mikroba baku, menggunakan perbandingan 0,10 ml inokula setara dengan 20 ml sediaan, dan campur. Mikroba uji dengan jumlah yang sesuai harus ditambahkan sedemikian rupa hingga jumlah mikroba di dalam sediaan uji segera setelah inokulasi adalah antara 100.000 dan 1.000.000 per ml. Tetapkan jumlah mikroba viabel di dalam tiap suspensi inokula, dan hitung angka  awal mikroba tiap ml sediaan yang diuji dengan metode lempeng. Inkubasi wadah atau tabung yang telah diinokulasi pada suhu 200 hingga 250. Amati wadah atau tabung pada hari ke 7, ke 14, ke 21 dan ke 28 sesudah inokulasi. Catat tiap perubahan yang terlihat dan tetapkan jumlah mikroba viabel pada tiap selang waktu tersebut dengan metode lempeng. Dengan menggunakan bilangan teoritis mikroba pada awal pengujian, hitung perubahan kadar dalam persen tiap mikroba selama pengujian.
Penafsiran Hasil :
Suatu pengawet dinyatakan efektif di dalam contoh yang diuji, jika :
a.  Jumlah bakteri viabel pada hari ke 14 berkurang hingga tidak lebih dari 0,1% dari jumlah awal.
b.  Jumlah kapang dan khamir viabel selama 14 hari pertama adalah tetap atau kurang dari jumlah awal.
c. Jumlah tiap mikroba uji selama hari tersisa dari 28 hari pengujian adalah tetap atau kurang dari bilangan yang disebut pada a dan b (Depkes RI, 1995).


DAFTAR PUSTAKA

Anonim a. 2006. Pharmaceutical Excipient. London : Royal Pharmaceutical Society of Great Britain.

Anonim b. 2007. MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 7. Jakarta : PT Info Master

Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi keempat. Jakarta: Universitas Indonesia.

DepKes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Lachman, L, Lieberman, dan Kanig. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Bandung: ITB Press

Martin, John. 2007. British National Formulasi (BNF-45). BMJ Publishing Group Ltd and RPS Publishing.


McEvoy,G.K. 2002. AHFS Drug Information.  USA.: American Society of Health-System Pharmacistsm,Inc 

Rahardja, K. & Tan Hoan Tjay. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo

Sweetman, Sean C. 2002. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-Third edition. London Chicago : Pharmaceutical Press.

Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknlogi Farmasi. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press  



0 comments:

Post a Comment