24 October 2011

Penetapan Kadar Quinin dalam Urin setelah Mengkonsumsi Tablet Quinin dengan Metode Fluoresensi (Spektrofotodensitometri Mode Fluoresensi)



I.          TUJUAN
Untuk menentukan kadar quinin dalam urin setelah mengkonsumsi tablet quinin dengan metode fluoresensi menggunakan alat spektrofotodensitometri mode fluoresensi.

II.       DASAR TEORI
2.1  Monografi dan Sifat Fisikokimia
2.1.1        Kinin (Quinine)
Kinin merupakan senyawa antimalaria, termasuk kedalam golongan alkaloid yang diperoleh dari kulit kayu pohon kina dan isomer levorotatory dari kuinidin (McEvoy, 2002).
Gambar 3. Struktur Kimia Kinin
·           Rumus molekul    : C20H24N2O2
·           Berat molekul       : 324,4 g/mol
·           Pemerian               : berupa serbuk mikrokristal atau granul-granul berwarna putih, sedikit berfluoresensi.
·           Titik lebur             : 570C (trihidrat)
·           Kelarutan             : dalam air 1 : 1900; air panas 1 : 760; alkohol 1 : 0,8; benzena 1 : 80; kloroform 1 : 1,2; eter 1 : 250; gliserol 1 : 2; dan tidak larut dalam petroleum eter.
(Moffat et al, 2005)
2.1.2        Kinin Sulfat (Quinin sulfat)
Kinina sulfat mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% kinina sulfat C40H48N4O4.H2SO4, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian hablur berbentuk jarum, putih, tidak berbau, pahit. Oleh pengaruh cahaya warna menjadi tua. Larut dalam 810 bagian air dan dalam 95 bagian etanol (95%), sukar larut dalam kloroform  dan dalam eter (Depkes RI, 1995).
Kinin sulfat menghitam oleh kontak cahaya. Kapsul kinin sulfat disimpan dalam tempat yang rapat dan terlindung cahaya pada suhu kurang dari 400C, lebih baik antara 15-30oC. Tablet quinine sulfat harus disimpan dalam tempat yang tertutup baik pada suhu kurang dari 40oC, lebih baik 15-30oC (McEvoy, 2002).
·               Rumus molekul       : C20H24N2O2 H2SO4.H2O
·               Berat Molekul         : 783.0
·               Pemerian                 : serbuk kristal berwarna putih atau kristal acicular yang tidak berwarna, dapat menjadi coklat jika terpapar cahaya.
·               Kelarutan                : dalam air 1:810, air panas 1:32, dan etanol 1:120; agak sukar larut dalam kloroform dan eter, larut dalam campuran kloroform dan alkohol dehidrat (2:1).
·               pKa                         : 4,1; 8,5 (20 oC)
·               Koefisien Partisi     : Log p (oktanol/air) 3.4
·               Identifikasi (kromatografi lapis tipis) : Sistem TA—Rf 51; sistem TB—Rf 02; sistem TC—Rf 11; sistem TE—Rf 45; sistem TL—Rf 04; sistem TAE—Rf 26; sistem TAF—Rf 65 (Fluoresensi biru di bawah sinar UV; positif dengan reagen Dragendorff; positif dengan larutan asam iodoplatinate).

Tabel 2.1 Harga Rf Kinin dan Metabolitnya Dalam Berbagai Sistem Fase Gerak
Sistem
TA
TB
TC
TD
TE
TF
TL
TAD
TAE
TAF
TAJ
TAK
TAL
Kinin
51
02
11
-
45
-
04
-
26
65
-
-
-
Hidroksiquinin
32
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
                                                                                                                        (Moffat et al, 2005)
Keterangan :
Sistem
Fase Gerak
Perbandingan
TA
Methanol : larutan amonia kuat
100 : 1,5
TB
Sikloheksana : toluen : dietilamin
75 : 15 : 10
TC
Kloroform : methanol
90 : 10
TD
Kloroform : aseton
80 : 20
TE
Etil asetat : methanol : larutan amonia kuat
85 : 10 : 5
TF
Etil asetat

TL
Aseton

TAD
Kloroform : methanol
90 : 10
TAE
Methanol

TAF
Methanol : n-butanol
60 : 40 (ditambahkan 0,1 mol/L NaBr
TAJ
Kloroform : etanol
90 : 10
TAK
Kloroform : sikloheksana : asam asetat
4 : 4 : 2
TAL
Kloroform : methanol : asam propionat
72 : 18 : 10
                                                                                                            (Moffat et al, 2005)

Pemerian  : Hablur putih, berbentuk jarum halus biasanya tidak bercahaya, massanya ringan dan mudah memadat; tidak berbau dan mempunyai rasa pahit yang lama. Menjadi berwarna jika terpapar cahaya. Larutan jenuh bersifat netral atau basa terhadap lakmus.
Kelarutan : Sukar larut dalam air, dalam etanol, dalam kloroform dan dalam eter; mudah larut dalam etanol pada suhu 800C, dalam campuran kloroform-etanol mutlak (2:1); agak sukar larut dalam air pada suhu 1000C (Depkes RI, 1995).
Stabilitas   : Tablet kuinin sulfat harus disimpan dalam wadah yang tertutup baik pada temperatur kurang dari 400C, lebih bagus pada suhu 15 -300C (McEvoy, 2002).

2.1.3     Farmakokinetik
2.1.3.1     Absorpsi
Quinin sulfat diabsorpsi baik jika diberikan secara oral atau intramuskular. Kinin sulfat sebagian besar diabsorpsi dari saluran pencernaan, bahkan pada pasien dengan diare. Absorpsi kinin terjadi terutama dari usus kecil bagian atas. Berdasarkan administrasi dosis oral tunggal, konsentrasi serum puncak dari alkaloid cinchona, termasuk kinin, umumnya terjadi dalam 1-3 jam. Berdasarkan ketidak-berlanjutan terapi kinin, konsentrasi plasma dari obat menurun secara cepat dan hanya konsentrasi rendah dideteksi setelah 24 jam.  Kurang dari 70% quinin dalam plasma terikat dengan protein, sehingga jumlah quinin dalam bentuk bebasnya di dalam plasma rendah (McEvoy, 2002).
Pada beberapa hari terapi dengan dosis oral 1 g kinin sulfat harian, konsentrasi kinin plasma rata-rata kira-kira 7mL/mL. Waktu paruhnya 4-15 jam. Konsentrasi plasma dari kinin lebih tinggi dan waktu paruh plasma obat mungkin lebih panjang pada pasien dengan malaria (McEvoy, 2002).

2.1.3.2  Distribusi
Distribusi quinin terjadi ke seluruh jaringan tubuh, termasuk cairan serebrospinal, ASI, dan plasenta. Distribusi quinin luas dalam hati, tetapi kurang dalam paru-paru, ginjal dan limpa (Lubis, 2009). Volume distribusi quinin lebih rendah pada pasien dengan malaria daripada individu yang sehat. Volume distribusi quinin dilaporkan rata-rata 0,8 L/kg pada anak-anak 1 - 12 tahun yang memiliki malaria moderat dan 1,1 L/kg pada anak yang sembuh 1-12 tahun (McEvoy, 2002).
Sejumlah kecil dari obat didisrtribusi ke dalam empedu dan saliva. Quinin melewati plasenta dan terdistribusi ke dalam susu. Kira-kira 70% quinin terikat dengan protein plasma (McEvoy, 2002).

2.1.3.3  Metabolisme
Metabolisme quinin terjadi di hepar. Metabolisme terjadi melalui oksidasi menjadi metabolit terhidroksilasi. Metabolit utama adalah 2-hidroksiquinolin dan derivate 6-hidroksikuinolin, 3-hidroksiquinin, dan komponen dihidro yang berhubungan. Quinin-10, 11-epoksida dan quinin-10,11-dihidrodiol juga pernah dideteksi pada urin. Setiap metabolit dari quinin akan berfluoresensi pada keadaan tertentu. 2-hidroksiquinolin berfluoresensi pada panjang gelombang 259 nm pada kondisi asam; 332 nm pada pelarut non polar; 324 nm pada pelarut polar.  6-hidroksikuinolin akan berfluoresensi pada panjang gelombang 419 nm dan 583 nm jika kondisinya asam (aseton) (Galichet, 2004). Sedangkan quinine akan berfluoresensi pada panjang gelombang 450 nm (Reily, 2003,). Panjang gelombang maksimum absorpsi quinin 250 nm, 317 nm, 346 nm (pada larutan asam); 280 nm, 330 nm (pada larutan basa) (Galichet, 2004).

2.1.3.4  Eliminasi
Waktu paruh eliminasi plasma quinin rata-rata 8 - 21 jam pada orang dewasa dengan malaria dan 7 - 12 jam pada orang dewasa yang sudah sembuh. Pada anak 1 - 12 tahun, waktu paruh eliminasi plasma dari quinin dilaporkan rata-rata 11 - 12 jam pada anak dengan malaria dan 6 jam pada anak yang sembuh (McEvoy, 2002).
Quinin sulfat diekskresikan melalui urin dalam bentuk metabolit hidroksi. Sebagian kecil diekskresikan melalui tinja, getah lambung, empedu dan air liur. Ekskresi quinin yang sempurna terjadi selama 24 jam. Quinin direabsorpsi ketika urin alkali sehingga ekskresi ginjal dari obat dua kali lebih cepat ketika urin asam dibandingkan urin alkali (Lubis, 2009).

2.2 Urin
Tidak seperti plasma, urin bebas dari protein dan lipida, karena itu umumnya dapat langsung diekstraksi dengan pelarut organik. Urin jika dibandingkan dengan plasma atau serum, komposisinya bervariasi cukup besar yang dapat dilihat dari warna gelap urin malam dibandingkan dengan warna pucat urin yang dikumpulkan pada siang hari. Komposisi urin keseluruhan tergantung pada diet yang memang menyebabkan warna yang berbeda (Wirasutha, 2008).
Urin mengandung air, urea, dan ammonia yang merupakan sisa perombakan protein;  garam mineral terutama garam dapur; zat warna empedu yang memberi warna kuning pada urin, serta zat yang berlebihan dalam darah, seperti vitamin dan obat-obatan. Secara spesifik kandungan urin meliputi 0,05 % amonia; 0,18% sulfat; 0,12% fosfat; 0,6% klorida; 0,01% magnesium; 0,015% kalsium; 0,6% potasium; 0,1% sodium; 0,1% kreatinin; 0,03% asam urat; 2% urea; dan sebanyak 95%  air (Wasito,-).
Sampel urin umumnya hanya digunakan jika kadar obat dalam darah terlalu kecil untuk dapat dideteksi. Selain itu sampel urin juga digunakan apabila eleminasi obat dalam bentuk utuh melalui ginjal cukup besar yaitu lebih dari 40 %. Salah satu keuntungan sampel urin jika digunakan dalam analisis adalah mudah dilakukan karena pengambilan sampelnya lebih mudah daripada pengambilan sampel darah. Selain itu, jumlah sampel yang didapatkan banyak, lama dan selang waktu penampungan urin sesuai dengan karakteristik obat yang akan diuji dan umumnya tidak mengandung lipid dan protein sehingga mudah untuk diekstraksi menggunakan pelarut organik. Jenis senyawa yang umum terdapat dalam urin larut air, sedangkan sebagian besar obat larut lemak, sehingga dapat diekstrasi dengan pelarut yang sesuai (Anonim, 2005).
Kesulitan dalam penggunaan sampel urin adalah adanya perbedaan yang besar dari volume urin yang dihasilkan pada satu tenggang waktu. Urin dapat mempunyai rentang pH yang lebar, tergantung dari diet atau pengobatan. Misalnya antasida, jika diabsorpsi akan menyebabkan urin basa sehingga tidak boleh dikocok, melainkan tabung dibolak-balik secara pelahan-lahan (Wirasutha, 2008).

2.3     KLT-Spektrodensitometri
      Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu teknik yang sering digunakan dalam mengidentifikasi suatu analit dalam analisis toksikologi dan digunakan secara luas dalam pemisahan dan identifikasi obat karena teknik ini cepat, menghasilkan hasil dengan reabilitas yang tinggi, dan memerlukan sedikit biaya (Moffat et al, 2005).
Kromatografi lapis tipis (disingkat KLT atau dalam bahasa Inggris disebut TLC) merupakan bentuk kromatografi planar selain kromatografi kertas, yang mana fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium, atau plat plastik. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar, 2007). Metode KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang tidak volatil atau senyawa yang sifat volatilitasnya rendah, senyawa  dengan polaritas rendah hingga tinggi, bahkan untuk memisahkan senyawa-senyawa ionik (Hahn dan Deinstrop, 2007).
Fase diam yang digunakan dalam KLT umumnya merupakan penjerap berupa silika gel berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm dan ketebalan lapisan penjerapnya mencapai 250 μm. Plat KLT dapat mengandung suatu indikator fluoresensi sehingga komponen yang mengabsorbsi UV dapat ditempatkan sebagai spot yang gelap dengan latar yang berfluoresensi dengan bantuan reagen visualisasi jika diperlukan (Sherma dan Fried, 1996).
Pemilihan fase gerak  didasarkan pada keterpisahan senyawa-senyawa dalam  analit yang didasarkan pada nilai Rf atau hRf (100Rf). Nilai Rf diperoleh dari membagi jarak pusat kromatografik dari titik awal dengan jarak pergerakan pelarut dari titik awal. Perhitungan nilai hRf  ditunjukkan dengan persamaan dibawah ini.
Penggunaan KLT dapat berupa analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Pada analisis kualitatif, KLT dapat digunakan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi KLT yang sama. Untuk meyakinkan identifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan lebih dari 1 fase gerak dan jenis pereaksi semprot (Gandjar, 2007).
KLT digunakan secara luas untuk analisis solut-solut organik terutama dalam bidang biokimia, farmasi, klinik, forensik, baik untuk analisis kualitatif  dengan cara membandingkan nilai Rf solut dengan nilai Rf senyawa baku atau untuk analisis kuantitatif. Parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi KLT yang sama. Untuk meyakinkan identifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan lebih dari 1 fase gerak dan jenis pereaksi semprot. Teknik spiking dengan menggunakan senyawa baku yang sudah diketahui sangat dianjurkan untuk lebih memantapkan pengambilan keputusan identifikasi senyawa (Gandjar, 2007).
Terdapat 2 cara yang digunakan untuk analisis kuantitatif dengan KLT. Pertama, bercak pada plat KLT diukur langsung pada lempeng dengan menggunakan ukuran luas atau dengan teknik densitometri. Cara kedua adalah dengan mengerok bercak lalu menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam bercak tersebut dengan metode analisis yang lain, misalkan dengan metode spektrofotometri (Gandjar, 2007).
Analisis kuantitatif dari suatu senyawa yang telah dipisahkan dengan KLT biasanya dilakukan dengan densitometer langsung pada lempeng KLT (atau secara in situ). Densitometer dapat bekerja secara serapan atau flouresensi, dimana kebanyakan densitometer mempunyai sumber cahaya yang diarahkan menuju monokromator (untuk memilih rentang panjang gelombang yang cocok antara 200-800 nm), sistem untuk memfokuskan sinar pada lempeng, pengganda foton, dan rekorder (Gandjar, 2007). Output detektor dikonversikan menjadi signal dan diamplifikasi. Sebagai tambahan untuk scanning instrumen densitometer dilengkapi dengan digital konverter, dan data akan diproses secara digitalisasi oleh komputer. Analis dapat  bekerja  dengan  densitometri  pada  jangkauan  panjang  gelombang 190 s/d 800 nm. Terjadinya penyimpangan baseline yang disebabkan oleh variasi ketebalan dan ketidakseragaman lapisan pada densitometer sangat kecil dan level signalnya relatif tinggi. Prinsip kerja spektrofotodensitometri adalah berdasarkan interaksi antara radiasi elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada plat. Radiasi elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh analit, ditransmisi atau diteruskan jika plat yang digunakan transparan. Radiasi elektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa flouresensi dan fosforesensi (Sherma and Fried 1996). Pemadaman flouresensi indikator F-254 dapat terjadi akibat adanya noda pada plat sehingga teramati di bawah lampu UV sebagai noda hitam (Mulja dan Sukarman, 1995).

Gambar 1.  Skema Instrumen Spektrofotodensitometer
Keterangan: L  (light); SL  (slit); MC (monokromator); PM (photomultiplier); FF  (filter fluorescens); P (plat); SCS (sistem for circular scanning).
spektrodensito
Gambar 2. Spektrofotodensitometer yang Dihubungkan ke PC (Camag, 1999)

Analisis KLT dengan menggunakan spektrofotodensitometri dapat dilakukan dengan menggunakan mode absorbsi atau flouresensi. Pada umumnya yang paling sering digunakan adalah mode absorbsi dengan menggunakan sinar UV pada λ 190-300 nm. Oleh karena kebanyakan plat KLT menggunakan silika gel yang bersifat opaque (tidak tembus cahaya), maka pengukuran dengan mode transmitan tidak cocok digunakan. Penentuan absorpsi analit pada plat KLT opaque didasarkan pada rasio intensitas antara radiasi elektromagnetik yang datang dengan intensitas radiasi elektromagnetik yang dipantulkan/direfleksikan. Pengukuran flouresensi merupakan metode pengukuran langsung yang peka untuk senyawa dalam daerah ultraviolet dapat ditentukan melalui emisi penyinaran sekunder. Intensitas cahaya flouresensi setelah dipancarkan melalui suatu monokromator, diukur secara selektif dalam kondisi yang sesuai, berbanding lurus dengan berat senyawa yang ada dalam noda (Sherma and Fried, 1996).

2.4 Spektroflourosensi
Fluoresensi molekular merupakan suatu proses emisi dimana absorpsi REM (Radiasi Elektromagnerik) menyebabkan molekul tereksitasi. Kemudian, molekul tersebut akan kembali pada keadaan stabilnya (ground state) dan melepaskan energi sebagai foton. Relaksasi tersebut dapat berupa relaksasi fluoresensi atau berupa relaksasi non radiatif.  Panjang gelombang yang dapat digunakan agar terjadi fluoresensi adalah 200-800 nm. Metode fluoresensi lebih selektif daripada metode absorpsi, bahwa hanya sedikit substansi yang berfluoresensi daripada mengabsorpsi sinar UV atau sinar tampak. Selain itu, metode fluoresensi lebih selektif karena baik emisi maupun spektra absorpsi dapat diperoleh. Fluorosensi biasanya juga lebih sensitif daripada metode absorpsi, fluorosensi selalu lebih mudah untuk mengukur sinyal kecil terhadap blangko daripada mengukur perbedaan kecil diantara sinyal yang besar. Fenomena fluorosensi sendiri adalah subjek untuk lebih tepat membatasi struktur molekul daripada absorpsi (Moffat et al, 2005).
Pengukuran semikuantitatif untuk kekuatan fluoresensi ditentukan oleh rasio dari intensitas fluoresensi pada spesimen tes dan dibandingkan dengan standar dengan syarat menggunakan setting instrumen yang sama. Untuk quinin, larutan quinin dalam 0,1 N asam sulfat atau dalam 0,1 N  NaOH dapat digunakan sebagai standar (Lawrence, 2007).



III.       Alat dan Bahan
3.1 Alat
3.2  Bahan
·         Neraca analitik
·         Labu ukur 10 ml
·         Labu ukur 100 ml
·         Pipet ukur 1 ml
·         Ball filler
·         Tabung reaksi
·         Gelas ukur
·         Beaker glass
·         Vortex mixer
·         Sentrifuge
·         Plat KLT (silika G60)
·         Spektrofotodensitometer
·         Pipet syringe
·         Pipet tetes
·         Pipet Volume
·         Chamber
·         Tabung Effendorf
·         Oven
·         Kertas saring
·         Sendok tanduk
·            Urin
·            Serbuk tablet kinin
·            Aquades
·            Alkohol cuci
·            Metanol P
·            Kloroform P
·            Isopropanol P
·            Amoniak pekat P
·            H2SO4 0,1 N


IV.       PROSEDUR KERJA
4.1    Pembuatan Larutan
4.1.1    Larutan Stok Baku Quinin Sulfat (1 mg/mL)
Ditimbang dengan seksama 10 mg serbuk quinin sulfat baku. Serbuk dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan ditambahkan 5 mL methanol P. Dilakukan pengocokan secara mekanik. Ditambahkan methanol P sampai tanda batas, kemudian dihomogenkan.

4.1.2    Larutan Baku Sekunder I Quinin Sulfat (5000 ng/mL)
A.    Perhitungan
1.      Pengenceran Pertama
Diketahui     :  Konsentrasi Larutan Baku Stok (C1) = 1 mg/mL = 1000µg/mL
                        Volume Larutan Baku Stok (V1)              = 0,1 mL
                        Volume Larutan Baku yang dibuat (V2)   = 10 mL
Ditanya        :  Konsentrasi Larutan Baku yang dibuat (C2)
Perhitungan  :
C1
×
V1
=
C2
×
V2
1000µg/mL
×
0,1 mL
=
C2
×
10 mL


C2
=




C2
=


C2
=
10 µg/mL


C2
=
10000 ng/mL

2.      Pengenceran Kedua
Diketahui     :  Konsentrasi Larutan Baku yang ada (C2)       = 10000 ng/mL
                        Konsentrasi Larutan Baku yang dibuat (C3)   = 5000 ng/mL
                        Volume Larutan Baku yang dibuat (V3)         = 10 mL
Ditanya        :  Volume Larutan Baku yang diambil (V2)
Perhitungan  :
C2
×
V2
=
C3
×
V3
10000ng/mL
×
V2
=
5000 ng/mL
×
10 mL


V2
=




V2
=


V2
=
5 mL

B.     Pembuatan Larutan Baku Sekunder I Quinin Sulfat (5000 ng/mL)
Dipipet 0,1 mL larutan baku stok quinin dengan seksama dan dimasukkan ke labu ukur 10 mL. Ditambahkan methanol sampai tanda batas, kemudian dihomogenkan. Dari larutan yang terbentuk, dipipet 5 mL dengan seksama dan dimasukkan ke labu ukur 10 mL. Ditambahkan methanol sampai tanda batas, kemudian dihomogenkan.

4.1.3    Larutan Baku Sekunder II Quinin Sulfat (20 ng/µL)
A.    Perhitungan
Diketahui     :  Konsentrasi Larutan Baku Stok (C1) = 1 mg/mL = 1000µg/mL
                        Volume Baku Sekunder (V2)        = 10 mL
                        Konsentrasi Baku Sekunder (C2)  = 20 ng/µL = 20 µg/mL
Ditanya        :  Volume larutan stok yang diambil (V1)
Perhitungan  :
C1
×
V1
=
C2
×
V2
1000µg/mL
×
V1
=
20 µg/mL
×
10mL


V1
=




V1
=


V1
=
1,0 mL

B.     Pembuatan Larutan Baku Sekunder II Quinin Sulfat (20 ng/µL)
Dipipet 1,0 mL larutan baku stok quinin dengan seksama dan dimasukkan ke labu ukur 10 mL. Ditambahkan methanol sampai tanda batas, kemudian dihomogenkan.

4.1.4    Preparasi Larutan Blanko
            Disiapkan urin sebanyak 2 mL ke dalam tabung reaksi yang diberi label 1.

4.1.5    Preparasi Larutan Uji
Dibuat 3 seri larutan uji dengan konsentrasi 250 ng/mL, 500 ng/mL, dan 1000 ng/mL
A.  Perhitungan
Diketahui     :  Konsentrasi Baku Sekunder I       = 5000 ng/mL
                        Konsentrasi yang dibuat               = 250 ng/mL, 500 ng/mL, dan 1000 ng/mL
                        Volume Larutan Uji                      = 2 mL
Ditanya        :  Volume Baku Sekunder I yang diambil
Perhitungan  :
1.      Untuk C = 250 ng/mL
Cbaku sekunder
×
V
=
Clarutan uji
×
Vlarutan uji
5000 ng/mL
×
V
=
250 ng/mL
×
2 mL


V
=


V1
=


V1
=
0,1 mL

2.      Untuk C  = 500 ng/mL
Cbaku sekunder
×
V
=
Clarutan uji
×
Vlarutan uji
5000 ng/mL
×
V
=
500 ng/mL
×
2 mL


V
=


V1
=


V1
=
0,2 mL

3.      Untuk C = 1000 ng/mL
Cbaku sekunder
×
V
=
Clarutan uji
×
Vlarutan uji
5000 ng/mL
×
V
=
1000 ng/mL
×
2 mL


V
=


V1
=


V1
=
0,4 mL

dapus jurnal kita tedi dkk :

Anonim. 2005. Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta
Galichet, Y. L. 2004. Clarke's Analysis of Drugs and Poison In Pharmaceuticals, Body Fluids, and Postmortem Material. London: The Bath Press.
Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hahn, Elke dan Deinstrop. 2007. Applied Thin-Layer Chromatography. German: Wiley-VCH
Lawrence. 2007. USP/NF 25. USA: The Official Compendia of Standards.
Lubis, Syamsidah. 2009. Efikasi Gabungan Kinin – Doksisiklin Dibandingkan dengan Kinin – Azithromycin pada Pengobatan Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi pada Anak. (sited: 2011 Oct, 01). Avilable at: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6282/1/10E00153.pdf
McEvoy, G. K. 2002. AHFS Drug Information. American Society of Health System Pharmacist: USA.
Moffat, C.A., M. D. Osselton, B. Widdop. 2005. Clarke's Analysis of Drugs and Poisons. Pharmaceutical Press Publications division of the Royal Pharmaceutical Society of Great Britain: London.
Mulja, M. dan Sukarman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya: Airlangga University Press.
Sherma, J. and B. Fried. 1996. Handbook of Thin-Layer Chromatography Third Edition. New York: Marcel Dekker Inc. P.147-149.
Wasito, Hendri. -. Analisis Obat Dalam Berbagai Cairan Biologis. Jawa Tengah : Jurusan Farmasi FKIK Universitas Jenderal Soedirman.

Wirasuta, IMAG. 2008. Buku Ajar Analisis Toksikologi Forensik. (Cited 3 September 2011). Available at: http://www.scribd.com/doc/27303128/Analisis-Toksikologi-Forensik












0 comments:

Post a Comment