BAB I
PENDAHULUAN
Biovailabilitas (banyaknya obat yang mencapai sistem sistemik) dipengaruhi oleh absorpsi obat tersebut. Absorbsi suatu obat adalah pengambilan obat dari permukaan tubuh atau dari tempat-tempat tertentu dalam organ ke dalam aliran darah atau ke dalam system pembuluh limfe. Dari aliran darah atau sistem pembuluh limfe terjadi distribusi obat kedalam organisme keseluruhan. Karena obat, baru dapat berkhasiat apabila berhasil mencapai konsentrasi yang sesuai pada tempat kerjanya, maka suatu absorbsi yang cukup merupakan syarat untuk suatu efek terapeutik, sejauh obat tidak digunakan secara intravasal atau tidak langsung dipakai pada tempat kerjanya.
Absorpsi sistemik suatu obat dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat fisikokimia dari produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variable-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat, dengan tujuan terapuetik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat, maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat, atau bahkan sampai tidak terjadi absorbsi sama sekali. (Shargel, 2005).
Pertimbangan terpenting dalam merancang suatu sediaan obat adalah keamanan dan keefektifan. Bahan-bahan aktif dan inaktif harus aman bila digunakan seperti yang diharapkan. Obat harus dilepas secara efektif ke tempat sasaran sehingga efek terapetik yang diharapkan dapat dicapai. Bentuk sediaan harus tidak menambah efek samping atau efek yang tidak dikehendaki terhadap obat. (Shargel, 2005)
Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif yang paling banyak berada pada sirkulasi sistemik, farmasis harus mempertimbangkan jenis obat atau bentuk sediaan (misalnya: larutan, suspensi, supositoria), sifat bahan tambahan dalam produk obat, dan sifat fisiko kimia dari bahan aktif obat itu sendiri. (Shargel, 2005)
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh bentuk sediaan terhadap bioavailabilitas suatu zat aktif, dalam hal ini ialah ketoprofen, sekaligus mengetahui bentuk sediaan yang paling efektif bagi zat aktif ketoprofen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketoprofen
Ketoprofen [2-(3-benzoyl phenyl) propionic acid] adalah senyawa obat turunan asam fenilalkanoat yang bekerja sebagai antiinflamasi, antipiretik dan analgesik. Sebagaimana anti-inflamasi non-steroid lainnya, ketoprofen bekerja menghambat sintesa prostaglandin. Ketoprofen banyak digunakan dalam pengobatan artritis reumatoid, osteoartritis, pirai dan keadaan nyeri lainnya (Katzung, 2002).
ketoprofen mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 100,5% C6H14O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Merupakan serbuk hablur, putih atau hampir putih, tidak atau hampir tidak berbau. kelarutannya mudah larut dalam etanol, dalam kloroform, dan dalam eter; praktis tidak larut dalam air. (Depkes RI, 1995)
Kelemahan ketoprofen yaitu memiliki waktu eliminasi yang terlalu cepat, yaitu 1,5−2 jam, sehingga obat tersebut harus sering dikonsumsi. (Sumirtapura dkk, 2002). Selain itu ketoprofen dapat memicu terjadinya efek samping obat khususnya pada pemberian secara per oral akan menyebabkan iritasi lambung. (Sugita dkk, 2010)
Ketoprofen apabila diberikan secara oral dengan dosis sedikit berlebih dapat mengiritasi lambung. Obat ini dapat menyebabkan mual dan rasa sakit pada lambung bila diberikan pada lambung yang kosong. (Sugita dkk, 2008)
Di Indonesia, ketoprofen tersedia dalam berbagai bentuk sediaan, diantaranya dalam sediaan peroral (serbuk dan tablet bersalut enteric) dan sediaan rectal (suppositoria).
2.2 Pemberian Obat Per Oral
Pemberian obat peroral termasuk cara pemberian yang fisiologis. Penyerapan obat terjadi disepanjang saluran cerna asalkan zat aktif dapat diserap. Kecuali pada esofagus, penyerapan obat terjadi disepanjang canalis buccalis. Walaupun demikian penyerapan obat beragam menurut bagian saluran cerna. (devissaguet,1993). Keuntungan utama dari sediaan oral adalah kemudahan pemakaian dan menghilangkan ketidakenakan yang terjadi pada pemakaian injeksi. Juga menghindarkan bahaya dari pemberian intravena yang cepat dan menyebabkan konsentrasi obat tinggi yang toksik dalam darah. Kerugian utama dari sediaan oral adalah persoalan yang potensial dari penurunan bioavailabilitas dan bioavailabilitas yang berubah-ubah yang disebabkan oleh absorpsi yang tidak sempurna atau interaksi obat. (Shargel, 2005)
2.3 Pemberian Obat Per Rektal
Pemberian obat per rectal, merupakan pilihan lain pemberian obat parenteral dan merupakan cara yang penting karena kapasitas penyerapan dibagian akhir dari usus tidak diabaikan. Cara rektal dapat mengurangi pengaruh pH lambung atau enzim-enzim lambung yang dapat merusak zat aktif. Cara ini juga mencegah inaktifasi zat aktif yang sudah diserap ke peredaran darah oleh hati. Bahan yang terserap dibagian akhir usus secara langsung menuju vena cava dan sebagian besar oleh vena haemorroidales superior menuju vea porta dan hati. (devissaguet,1993)
BAB III
PEMBAHASAN
Perbedaaan bentuk sediaan ketoprofen sangat mempengaruhi laju absorbsinya.
Untuk mendapatkan efek terapeutik yang sama atau kadar obat dalam tubuh yang sama, dosis yang harus diberikan pada tiap rute dan bentuk sediaan obat harus disesuaikan. Khusus untuk sediaan-sediaan yang lepas segera, dosis atau kandungan ketoprofen pada tiap bentuk sediaan yang dipakai adalah 50 mg untuk sediaan kapsul dan tablet salut enterik, dan 100 mg untuk sediaan supositoria.
Untuk mendapatkan efek terapeutik yang sama atau kadar obat dalam tubuh yang sama, dosis yang harus diberikan pada tiap rute dan bentuk sediaan obat harus disesuaikan. Khusus untuk sediaan-sediaan yang lepas segera, dosis atau kandungan ketoprofen pada tiap bentuk sediaan yang dipakai adalah 50 mg untuk sediaan kapsul dan tablet salut enterik, dan 100 mg untuk sediaan supositoria.
Berdasarkan penelitian pada jurnal Matematika dan Sains Vol. 7 No. 1, April 2002, hal 15 – 19 yang berjudul Farmakokinetik dan Ketersediaan Hayati Relatif Sediaan Kapsul, Tablet Salut Enterik dan Supositoria Ketoprofen, diketahui perkembangan kadar rata-rata ketoprofen dalam plasma (mg/ml) setelah pemberian masing-masing sediaan dalam dosis tunggal adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Perkembangan Kadar Rata-rata Ketoprofen Dalam Plasma (mg/ml) Setelah Pemberian Masing-masing Sediaan Dalam Dosis Tunggal
Waktu (jam) | Kadar Rata-rata Ketoprofen Dalam Plasma (mg/ml) | ||
I | II | III | |
0,25 | 0,99± 1,20 | - | - |
0,5 | 2,62± 1,40 | 0,44± 0,54 | 1,82± 0,62 |
1 | 2,82± 1,26 | 2,49± 2,29 | 3,20± 1,19 |
1,5 | 2,24± 0,72 | 2,29± 1,63 | 3,89± 2,26 |
2 | 2,05± 0,53 | 3,57± 2,33 | 3,47± 1,66 |
3 | 1,50± 0,47 | 2,09± 1,05 | 2,19±0,80 |
4 | 1,01± 0,33 | 1,35± 0,65 | 1,50± 1,33 |
6 | 0,64± 0,36 | 0,81± 0,65 | 1,00± 0,77 |
8 | 0,36± 0,43 | 0,48± 0,56 | 0,36± 0,42 |
Keterangan : I = Kapsul 50 mg; II = Tablet Salut Enterik 50 mg ; III = Supositoria 100 mg
Ketoprofen diabsorpsi dengan cepat dari saluran cerna setelah pemberian sediaan kapsul dengan waktu pencapaian kadar maksimum lebih kurang satu jam. Pada pemberian tablet salut enterik terlihat adanya waktu tunda (lag time), tetapi dengan harga yang relatif kecil, yaitu sekitar setengah jam dengan waktu pencapaian kadar maksimum lebih kurang dua jam. Hal ini sangat mungkin terjadi karena tablet salut enterik baru akan hancur dan melepaskan zat aktif saat masuk ke dalam usus. Pada pemberian secara rektal dalam bentuk supositoria absorpsi ketoprofen berlangsung lebih lambat dengan waktu pencapaian kadar maksimum lebih kurang 1,5 jam. Pada pemberian secara rektal fasilitas absorpsi jauh lebih terbatas dibandingkan pada pemberian secara oral.
Ravaud menyatakan bahwa supositoria yang diberikan melalui anal, penyerapannya hanya terjadi melalui pembuluh darah secara langsung dan lewat pembuluh getah bening sehingga tidak melalui sawar hepatik. Hanya vena inferior dan vena intermediet yang berperan dan membawa zat aktif melalui vena iliaca ke vena cava inverior. (devissaguet,1993)
Berikut merupakan perbandingan nilai beberapa parameter farmakokinetik dari berbagai sediaan ketoprofen yang diberikan dalam dosis tunggal.
Tabel 2. Beberapa Parameter Farmakokinetik Ketoprofen Setelah Pemberian Masing-masing Sediaan Dalam Dosis Tunggal
Subjek | t 1/2 (jam) | Ke (jam-1) | T max (jam) | Ka (jam-1) | AUC 0- ∞ (mg/ml.jam) | ||||||||||
I | II | III | I | II | III | I | II | III | I | II | III | I | II | III | |
1 | 2,9 | 1,6 | 2,1 | 0,24 | 0,42 | 0,33 | 1 | 1,5 | 1,5 | 0,91 | 2,03 | 0,81 | 14,9 | 5,39 | 30,9 |
2 | 1,6 | 7,4 | 1,8 | 0,44 | 0,09 | 0,39 | 0,5 | 2 | 1,5 | 2,27 | 0,81 | 1,02 | 9,82 | 25,1 | 14,6 |
3 | 2,5 | 2,4 | 1,2 | 0,28 | 0,29 | 0,56 | 2 | 1 | 1 | 0,69 | 1,00 | 1,15 | 10,1 | 15,5 | 11,0 |
4 | 2,9 | 2,6 | 1,5 | 0,24 | 0,27 | 0,46 | 0,5 | 1 | 2 | 2,20 | 1,14 | 1,02 | 13,0 | 19,0 | 11,8 |
5 | 1,5 | 2,5 | 3,2 | 0,48 | 0,28 | 0,22 | 2 | 3 | 1 | 2,68 | 0,64 | 1,38 | 9,57 | 18,3 | 9,80 |
6 | 4,3 | 1,5 | 2,9 | 0,16 | 0,46 | 0,24 | 1,5 | 2 | 1 | 1,04 | 0,78 | 1,02 | 17,7 | 6,43 | 20,2 |
Rataan | 2,61 | 3,0 | 2,1 | 0,31 | 0,30 | 0,36 | 1,25 | 1,75 | 1,5 | 1,63 | 1,06 | 1,07 | 12,5 | 14,9 | 16,4 |
S.D | 1,03 | 2,2 | 0,8 | 0,13 | 0,13 | 0,13 | 0,69 | 0,75 | 0,5 | 0,85 | 0,50 | 0,19 | 3,3 | 7,7 | 8,0 |
Keterangan: analisis dilakukan terhadap 6 sukarelawan.
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa berdasarkan nilai Ka, sediaan kapsul memiliki nilai Ka paling besar yaitu sebesar 1,63 diikuti dengan sediaan supositoria dengan nilai Ka sebesar 1,07 dan sediaan tablet bersalut dengan Ka terkecil yaitu 1,06. Nilai Ka sebanding dengan laju absorpsi, sehingga semakin besar nilai Ka, maka laju absorpsi akan semakin besar. Untuk itu, sesuai dengan data yang diperoleh pada tabel 1, maka sediaan ketoprofen supositoria akan lebih cepat mencapai konsentrasi maksimum didalam plasma (t maks kecil). Sebaliknya, ketoprofen dalam bentuk tablet salut enterik akan lebih lama mencapai kadar maksimum dalam darah (t maks lebih besar).
Selanjutnya jika melihat nilai waktu paruh yang dimiliki oleh masing-masing bentuk sediaan, sediaan tablet bersalut enterik memiliki waktu paruh sebesar 3 jam, sediaan kapsul memiliki waktu paruh sebesar 2,61 jam, dan sediaan supositoria memiliki waktu paruh sebesar 2,1 jam. Waktu paruh merupakan waktu yang diperlukan oleh suatu obat untuk mencapai konsentrasi setengah dari konsentrasi semula. (shargel, 2005). Semakin besar waktu paruh, maka semakin lama obat berada didalam plasma. Dengan demikian, tingginya waktu paruh akan menurunkan frekuensi pemberian obat.
NSID dengan wartu paruh panjang memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai tahap steady state dalam plasma dan cairan sinovium, dan mereka dapat tinggal dalam tubuh lebih lama setelah pemberian dihentikan. (Albar, 1995)
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Ketoprofen yang dibuat dalam bentuk sedian tablet salut enterik merupakan bentuk sediaan yang paling efektif dibandingkan dengan bentuk sediaan ketoprofen kapsul dan suppositoria, karena memiliki nilai Ka paling kecil dan atau waktu paruh yang paling besar, sehingga frekuensi pemakaian obat dapat dikurangi.
4.2. Saran
Untuk pembuatan sedian dengan bahan aktif berupa ketoprofen, sebaiknya dibuat dalam bentuk tablet salut enterik karena selain memilikii efektifitas yang tinggi, juga dapat mencegah terjadinya iritasi lambung akibat penyalutan obat.
\
DAFTAR PUSTAKA
Albar, Zuljasri. 1995. Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid pada Penyakit Rematik. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran No.104.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Katzung, Bertram.G. 2002. Farmakologi: Dasar dan Klinik 3 edisi Kedelapan. Jakarta: Penerbit Salemba.
Shargel, Leon dan Andrew B.C.YU. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Serapan Edisi Kedua. Airlangga University Press. Surabaya.
Sugita, P., A. Sjahriza, B. Srijanto, dan B. Arifin. 2008. Perilaku Disolusi Ketoprofen dan Indometasin Farnesil Tersalut Gel Kitosan-GG. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia hlm. 126-139.
Sugita, P., Naphtaleni, M. Kurniati, dan T. Wukirsari. 2010. Enkapsulasi Ketopren dengan Kitosan –Alginat Berdasarkan Jenis dan Ragam Konsentrasi Tween 80 dan Span 80. Makara, Sains, Vol 14 No.2 P: 107-112.I.
Sumirtapura, Y.C., B. Saungnage, dan M. Rachmat.2002. Farmakokinetik dan Ketersediaan Hayati Relatif Sediaan Kapsul, Tablet Salut Enterik dan Supositoria Ketoprofen. Jurnal Matematika dan Sains Vol. 7 No. 1, April 2002, hal 15 – 19.
Devissaguet. 1993. Biofarmasi.
0 comments:
Post a Comment