26 June 2011

PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS KININ DALAM BENTUK SUPOSITORIA DAN TABLET PER-ORAL

Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya dibuat dengan penambahan bahan tambahan farmasetika yang sesuai. Tablet-tablet dapat berbeda-beda dalam ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, daya hancurnya, dan dalam aspek lainya tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya. Kebanyakan tablet digunakan dalam pemberian obat-obat secara oral, dan kebanyakan dari tablet ini dibuat dengan penambahan zat warna, zat pemberi rasa, dan lapisan-lapisan dalam berbagai jenis. Lapisan pelindung dipakai untuk melindungi zat obat terhadap pengaruh yang merusak dari kelembapan, cahaya dan udara selama periode penyimpanan atau untuk menyembunyikan rasa yang tidak enak atau pahit dari alat perasa pasien (Ansel, 2008).

    Supositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang pemakaiannya dengan cara memasukkan melalui lubang atau celah pada tubuh, dimana ia akan melebur, melunak atau melarut dan memberikan efek lokal atau sistemik. Supsitoria umumnya dimasukkan melalui rectum, vagina, kadang-kadang melalui saluran urine dan jarang melalui telinga dan hidung. Bentuk dan beratnya berbeda-beda. Bentuk dan ukurannya harus sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah dimasukkan kedalam lubang atau celah yang diinginkan tanpa menimbulkan kejanggalan dan penggelembungan begitu masuk harus dapat bertahan untuk suatu waktu tertentu.

    Untuk efek local, begitu dimasukkan basis supositorium meleleh, melunak, atau melarut menyebarkan bahan obat yang dibawanya ke jaringan-jaringan di daerah tersebut. Obat ini bisa dimasukkan untuk ditahan dalam ruang tersebut untuk efek kerja local, atau bisa juga dimasukkan agar diabsorbsi untuk mendapatkan efek sistemik. Supositoria rectal dimaksudkan untuk kerja lokal dan paling sering digunakan untuk menghilangkan konstipasi dan rasa sakit, iritasi, rasa gatal, dan sehubungan dengan wasir atau kondisi anorektal lainnya (Ansel, 2008).

    Untuk efek sistemik, membran mukosa rectum memungkinkan absorpsi dari kebanyakan obat yang dapat larut. Untuk mendapatkan efek sistemik, cara pemakaian melalui rectum mempunyai beberapa kelebihan daripada pemakaian secara oral yaitu: (a) obat yang dirusak atau dibuat tidak aktif oleh pH atau aktifitas enzim dari lambung atau usus tidak perlu dibawa atau masuk ke dalam lingkungan yang merusak ini, (b) obat yang merangsang lambung dapat diberikan tanpa menimbulkan rangsangan, (c) obat yang dirusak dalam sirkulasi portal, dapat tidak melewati hati setelah absorpsi (obat memasuki sirkulasi portal setelah absorpsi pada penggunaan secara oral), (d) cara ini lebih sesuai untuk digunakan oleh pasien dewasa dan anak-anak yang tidak dapat atau tidak mau menelan obat, (e) merupakan cara yang efektif dalam perawatan pasien yang suka muntah (Ansel, 2008).

    Konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Osser pada tahun 1945 yaitu pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai pertama kali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas pengertiannya dengan istilah bioavailabilitas. Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang bioavailabilitas dalam berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam konsep bioavailabilitas adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur penting dalam absorpsi obat yang perlu dipertimbangkan, yaitu :

1) kecepatan absorpsi obat

2) jumlah obat yang diabsorpsi

Kedua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang diinginkan dengan toksisitas yang minimal. Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan bagaimana seharusnya definisi tentang bioavailabilitas. Dua definisi berikut ini merupakan definisi yang relatif lebih sesuai dengan kedua faktor di atas adalah :

Definisi 1 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik (Prawiro, 2010).

Definisi 2 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi (Prawiro, 2010).

    Bioavailabilitas digunakan untuk menggambarkan besar dan laju absorbsi obat dari suatu bentuk sediaan seperti dicerminkan dengan suatu kurva konsentrasi-waktu dari obat yang diberikan dalam jaringan atau cairan biologis seperti darah dan urin. Data bioavailabilitas digunakan untuk menentukan : (1) jumlah atau proporsi obat yang diabsorbsi dari suatu formulasi atau bentuk sediaan, (2) laju atau kecepatan dimana obat tersebut diabsorbsi, (3) lama beradanya obat dalam cairan atau jaringan biologis dan bila berhubungan dengan respon pasien, (4) hubungan antara kadar obat dalam darah dan keefektifan obat atau efek toksisnya (Ansel, 2008).

    Quinin dan isomernya, quinidin, merupakan 6-metoksicinchonin. Biosintesis quinin diduga melalui proses pemecahan cincin benzopirol dari triptofan dan penyusunan kembali menjadi inti quinukleidin kemudian menjadi quinoilin. Data mengenai proses detail biosintesis quinin masih terbatas tetapi diduga melibatkan stristisidin dan corynantheal sebagai intermediet.

    Alkaloid cinchona dihasilkan oleh tanaman Cinchona succirubra, Cinchona ledgeriana dan Cinchona calisaya. Bagian yang dikumpulkan untuk memperoleh alkaloid adalah kulit batangnya.

    Untuk memperoleh alkaloid lebih banyak maka dilakukan hibridisasi antara Cinchona ledgeriana dan Cinchona calisaya sehingga cenderung tumbuh tinggi dengan cabang bawah gugur dan mahkota pohon tumbuh rapat sehingga menutupi percabangan. Percabangan yang terlindung ini bagus untuk menghasilkan quinin. Pohon usia 6-9 tahun memiliki kandungan alkaloid maksimum pada kulit kayunya. Saat kulit kayunya dikeringkan maka akan menghasilkan alkaloid 3 kali lebih banyak dari orang tuanya.

    Alkaloid ini dibentuk pada sel parenkim pada lapisan tengah kulit kayu. Cinchona mengandung 25 macam alkaloid yang mirip satu sama lain. Alkaloid cinchona yang penting diantaranya quinin, quinidin, cinchonin dan cinchonidin yang dapat mencapai 6-7% dimana 50-67% adalah quinin dari kulit kayu kina kuning. Dalam kulit kayu kina merah quinidin berada dalam jumlah lebih banyak, dapat mencapai 18% dari total alkaloid. Konstituen lain adalah asam cinchotanat sebanyak 2-4% yang terdekomposisi menjadi zat tidak larut air.

    Quinin adalah diastereoisomer quinidin. Quinin berbentuk kristalin putih, tidak berbau, bulky, rasa pahit dan berubah warna mejadi gelap apabila terpapar sinar matahari. Quinin dimanfaatkan sebagai antimalaria dan sampai saat ini masih merupakan antimalaria paling potensial. Aksi antimalaria quinin diduga melalui penyisipan quinin pada DNA parasit Plasmodium sehingga DNA tidak efektif sebagai templat. Bahan interkalasi seperti quinin memiliki molekul polisklik planar yang rigid yang dapat masuk diantara pasangan basa dari rantai ganda DNA. Walaupun khasiatnya dapat menyembuhkan malaria ternyata juga memiliki efek samping terhadap kesehatan manusia, seperti sakit kepala dan gangguan fungsi mata (Tim Penyusun, 2008).


 


 

    Kajian Perbandingan bioavailabilitas terhadap supositoria kina baru dan kina oral pada sukarelawan sehat


 

Saat ini diperlukan alternatif sediaan kinin yang pemakaiannya lebih nyaman pada malaria akut. Para peneliti dari Universitas Ibadan, Nigeria, melakukan penelitian yang bertujuan untuk membandingkan bioavailability (BA) dari supositoria kina yang terbuat dari Theobroma oil dengan kina tablet. Penelitian ini dilakukan dengan memberikan enam relawan sehat 300 mg supositoria kina sulfat dan tablet kina secara crossover. Kemudian konsentrasi kinin pada plasma darah dan urin ditentukan dengan spektroflourometri. Dari penelitian ini diketahui bahwa penyerapan supositoria kina lebih lambat, lebih bervariasi, dan lebih rendah daripada tablet kina.

Waktu konsentrasi maksimum (T max ), konsentrasi maksimum (C maks), daerah di bawah kurva (AUC) dan ekskresi urin kumulatif (Du) untuk kedua formulasi ini juga jauh berbeda, meskipun tidak ada perubahan dalam waktu paruh (t1/2). C maks dan nilai AUC tablet kina (2,32 ± 0,22 μ g / ml, 36,31 ± 10,06 µ g.h/ml) 4 sampai 5 kali lebih tinggi daripada supositoria kina(0,52 ± 0,37 μ g / ml, 7,69 ± 5,79 μ gh / ml).

    Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyerapan supositoria kurang baik, karena itu tidak mungkin untuk menggantikan kinin tablet dengan kinin supositoria pada dosis yang sama. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan peningkatan formulasi dan dosis untuk memperbaiki bioavailabilitas kinin supositoria.

Quinine adalah salah satu obat malaria yang paling mahal namun paling efektif. Quinin masih efektif mengatasi strain Plasmodium falciparum di Africa. Laporan terakhir menunjukkan bahwa kinin sama efektifnya dengan artemisinin dan turunannya dalam mengobati malaria cerebral pada anak-anak.

Pada malaria yang sulit disembuhkan sebaiknya diberikan injeksi intravena (iv) sampai pasien mampu menelan obat. Namun, rute pemberian ini tidak selalu dapat diterapkan pada pasien di daerah pedesaan karena kurangnya tenaga kesehatan yang terlatih serta tidak terjangkaunya fasilitas kesehatan. Rute pemberian adalah secara intramuscular (im), akan tetapi pemberian melalui rute ini sering menyebabkan rasa nyeri, komplikasi lokal, peradangan, abses, tetanus, dan cacat ekstremitas.

Pemberian secara oral efektif tetapi dapat menyebabkan mual dan juga tidak dapat diberikan kepada pasien yang koma. Oleh karena itu diperlukan cara pemberian obat yang lebih nyaman. Rute rektal biasanya digunakan pada pasien paediatric dan secara luas dinilai sebagai alternatif untuk rute parenteral.

Saat ini, artemisinin dan turunannya telah tersedia sebagai supositoria dan ternyata keefektifannya sama dengan pemberian secara intravena dan intramuskular dalam mengobati malaria berat . Barenness dkk menemukan bahwa rute intrarectal dari QN cream, Quinimax PQ krim, Quinimax dan injeksi garam kinin larut efektif dalam pengobatan malaria berat dan rumit pada anak-anak di beberapa bagian yang berbahasa Perancis Afrika. Para penelii menemukan bahwa kinin terbukti memberi efek yang baik dan aman. Mereka juga menemukan efisiensi kinin

sebanding dengan perawatan secara intramuskular dan intravena meskipun bioavailabilitas kinin supusitoria sangat miskin dan tak menentu.

Namun, beberapa supositoria memberikan efek samping seperti penolakan awal, gangguan intestinal transit, dan tidak cukup produk retensi yang membutuhkan administrasi ulang .


 

Bahan dan Metode

Penyusunan supositoria Kina menggunakan campuran minyak theobroma dan lilin lebah sebagai basis supositoria.

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Penerbut Universitas Indonesia. Jakarta

Tim Penyusun. 2008. Buku Ajar Farmakognosi. Jurusan Farmasi F. MIPA Universitas Udayana. Bukit Jimbaran.

Babalola, Chinedum P.AS Adebayo. A Omotoso. Olubukola Ayinde. Comparative Bioavailability Study of a New Quinine Suppository and Oral Quinine in Healthy Volunteers. http://ajol.info/index.php/tjpr/article/viewFile/14612/2717. Diakses 3 April 2010.


 


 


 


 


 


 

0 comments:

Post a Comment