26 June 2011

STABILITAS

PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

STABILITAS


 


 

  1. Tujuan Praktikum

Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk

  • Menerangkan faktor – faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat
  • Menerangkan pengaruh suhu terhadap kestabilan zat


 

  1. Dasar teori
    1. Stabilitas

    Dalam pengembangan suatu bahan obat, selain aktivitas farmakologis, salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah stabilitas bahan obat. Stabilitas bahan obat merupakan tahap awal penentuan baik atau tidaknya bahan obat tersebut untuk dibuat suatu sediaan, sehingga dapat digunakan secara aman.

    Banyak hasil degradasi bahan obat yang dapat menimbulkan reaksi samping. Hasil degradasi tersebut yang paling sering dapat menjadi senyawa inisiator pembentukan antigen adalah terjadinya reaksi anafilaksis atau reaksi alergi. Beberapa diantara hasil degradasi tersebut bersifat sangat toksik. Oleh karena itu penentuan stabilitas calon bahan obat sangat perlu dilakukan.

    Tanggal kadaluarsa merupakan gambaran dari stabilitas obat dalam penyimpanan. Stabilitas obat merupakan kemampuan suatu produk untuk bertahan dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan. Sifat dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat produk dibuat. Kestabilan obat dapat dilihat dari beberapa hal dengan suatu perubahan dalam penampilan fisik seperti warna, bau, rasa dan tekstur. Sedangkan dalam hal lain perubahan kimia dapat terjadi yang tidak bisa dibuktikan sendiri dan hanya bisa dibuktikan melalui analisis kimia.

    Tanggal kadaluarsa menyatakan waktu dimana kandungan suatu obat telah mencapai 90% dari kadar yang tertera pada etiket jika disimpan pada tempat dan suhu yang sesuai. Berarti sekitar 10% dari kandungan obat telah mengalami penguraian. Disinilah letak perlu ditentukannya tanggal kadaluarsa. 10% kandungan obat yang terurai tidak diketahui secara pasti menjadi zat apa setelah mengalami penguraian, apakah menjadi senyawa yang tidak aktif atau bahkan berubah menjadi senyawa yang bersifat toksik. Efek terapi yang diinginkan pun menjadi menurun karena penguraian yang terjadi.

    Perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat sehingga dapat dipilih kondisi pembuatan sediaan yang tepat sehingga kestabilan obat terjaga. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain panas, cahaya, kelembaban, oksigen, pH, mikroorganisme, dan bahan-bahan tambahan yang dipergunakan dalam formula sediaan obat. Sebagai contoh: senyawa-senyawa ester dan amil nitrat seperti anvil nitrat dan kloramfenikol merupakan zat yang mudah terhidrolisis dengan adanya lembab. Sedangkan vitamin C sangat mudah sekali mengalami oksidasi. Pada umumnya penentuan kestabilan suatu zat dapat dilakukan melalui perhitungan kinetika kimia. Cara ini tidak memerlukan waktu yang lama sehingga cukup praktis digunakan dalam bidang farmasi.

    Proses laju merupakan hal dasar yang perlu diperhatikan bagi setiap orang yang berkaitan dengan bidang kefarmasian, mulai dari pengusaha obat sampai ke pasien. Pengusaha obat harus dengan jelas menunjukkan bentuk obat atau sediaan yang dihasilkannya cukup stabil sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama, di mana obat tidak berubah menjadi zat yang tidak berkhasiat atau racun.

    1. Laju dan Orde Reaksi
      1. Laju Reaksi

                Laju atau kecepatan suatu reaksi dilambangkan dengan
        ±

        ,
        artinya terjadi penambahan (+) atau pengurangan (-) konsentrasi (C) dalam selang waktu dt.


         

      2. Orde Reaksi

        Dari hukum aksi massa, suatu garis lurus didapat bila laju reaksi diplot sebagai fungsi dari konsentrasi reaktan dipangkatkan dengan bilangan tertentu.Orde reaksi keseluruhan adalah jumlah pangkat konnsentrasi-konsentrasi yang menghasilkan sebuah garis lurus.

        Reaksi orde nol terjadi bila reaktan berkurang dalam suatu jarak waktu, tetap terhadap waktu, tidak tergantung pada reaktan.

        0


         

        Persamaan laju reaksi dapat diintegrasikan antara konsentrasi awal Ao pada t=0, dan At konsentrasi setelah t,


         

                        0

                        At - A0 = -k0

                        At = A0 – k0t


         

            Reaksi orde satu persamaan lajunya dituliskan sebagai berikut:


         

        ,


         

            dimana C adalah konsentrasi sisa yang tidak terurai pada waktu t dan k adalah konstanta laju orde pertama. Integrasi persamaan diatas antara konsentrasi C0 pada saat t=0 dan konsentrasi C pada waktu t, akan didapat


         

ln C – ln C0 = -k(t-0) ------ ln C = ln C0 – kt


 

    dengan mengubah persamaan ke bentuk logaritma didapatkan :


 

log C = log C0 – ----------- k = log 0


 

Laju reaksi bimolekuler terjadi bila dua molekul bertabrakan.


 

A + B = PRODUK

    Sering dijelaskan dengan persamaan orde kedua. Bila laju reaksi bergantung pada konsentrasi A dan B yang masing-masing dipangkatkan dengan pangkat satu, laju penguraian A sama dengan laju penguraian B dan keduanya sebanding dengan hasil kali konsentrasi reaktan :


 


 


 

2.    Faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi

  1. Temperatur

    Sejumlah faktor lain selain konsentrasi yang dapat mempengaruhi kecepatan reaksi diantaranya adalah temperatur, pelarut, katalis, dan sinar. Kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira dua atau tiga kalinya tiap kenaikan 10o. Pengaruh temperatur terhadap laju ini diberikan dengan persamaan yang pertama kali dikemukakan oleh Arrhenius :

    k = A e-Ea/RT

  2. Solven

    Pengaruh pelarut terhadap laju penguraian obat merupakan hal terpenting untuk ahli farmasi. Walau efek-efek tersebut rumit dan generalisasi tidak dapat dilaksanakan, reaksi nonelektrolit dihubungkan dengan tekanan dalam relatif atau parameter kelarutan dari pelarut dan zat terlarut. Pengaruh kekuatan ion dan konstanta dielektrik dari medium pada laju reaksi ionik juga penting. Larutan biasanya bersifat tidak ideal sehingga koefisien aktivita harus disertkan dalam persamaan kesetimbangan.

    Pelarut polar, yaitu yang mempunyai tekanan dalam yang tinggi, cenderung menghasilkan reaksi yang dipercepat membentuk produk yang mempunyai tekanan dalam yang lebih tinggi dari reaktan. Sebaliknya produk kurang polar dari reaktan, produk akan dipercepat oleh pelarut dengan polaritas rendah atau tekanan dalam rendah, dan diperlambat oleh pelarut yang tekanan dalamnya tinggi.


     

  3. Katalisis

    Laju reaksi sering dipengaruhi dengan adanya katalis. Meskipun hidrolisis sukrosa dengan adanya air pada suhu kamar berlangsung dengan penurunan energi bebas, reaksinya begitu lambat sehingga dapat diabaikan. Bila konsentrasi ion hidrogen dinaikkan dengan penambahan sejumlah asam, maka reaksi akan berlangsung dengan laju yang dapat diukur.

    Katalis didefinisikan sebagai suatu zat yang mempengaruhi kecepatan reaksi tanpa ikut berubah secara kimia. Jika suatu katalis menurunkan kecepatan suatu reaksi disebut sebagai katalis negatif. Sebenarnya katalis negatif sering berubah secara tetap selama reaksi, dan katalis negatif yang demikian lebih tepat disebut inhibitor daripada katalis.

    Katalis dianggap bekerja dengan cara berikut ini. Katalis bergantung dengan reaktan yang disebut substrat dan membentuk sesuatu zat antara, yang disebut kompleks, yang kemudian terurai membentuk katalis dan menghasilkan produk. Dengan cara demikian katalis menurunkan energi aktivasi mengubah mekanisme proses, dan kecepatannya menjadi bertambah. Selain itu, katalis dapat juga bekerja dengan menghasilkan radikal bebas (CH3), yang akan mengadakan reaksi berantai yang cepat. Reaksi berantai serangkaian melibatkan atom bebas atau radikal yangberperan sebagai zat antara. Reaksi rantai dimulai dengan tahap pendahuluan (inisiasi) dan berakhir dengan pemutusan rantai atau tahap terminasi. Katalis negatif sering berperan dalam pemutusan rantai pada reaksi yang demikian.


     

  4. Cahaya

    Energi cahaya, seperti panas, dapaat memberikan keaktifan yang diperlukan untuk terjadinya reaksi. Reaksi dengan frekuensi yang sesuai dan energi yang cukup akan diadsorpsi untuk mengaktifan molekul-molekul. Satuan energi radiasi dikenal sebagai foton dan ekuivalen dengan 1 kuantum energi.


     

  1. Vitamin C



 

Nama resmi    :    ACIDUM ASCORBICUM

Nama lain    :     Asam askorbat

Rumus Molekul    :     C6H8O6

BM    :     176,13

Pemerian     :     Serbuk atau hablur, putih atau agak kuning, tidak berbau rasa asam, karena pengaruh cahaya jadi gelap.

Kelarutan     :     Mudah larut dalam air, sukar larut dalam etanol, praktis tidak larut dalam klorofom

Penyimpanan     :     Dalam wadah tertutup rapat.

(FI III, 47)

Keasaman atau pH vitamin C tergolong asam. Vitamin C sangat sensitif terhadap pemanasan, bahkan pemanasan yang tergolong ringan (sedikit diatas suhu kamar). Vitamin C juga sensitif terhadap sinar, senyawa oksidator (seperti: Iodium, Hydrogen Peroksida, dll), dan logam (besi, dll). Vitamin C mudah teroksidasi, terutama bila terlarut dalam suatu pelarut (misalnya air). Vitamin C teroksidasi dalam larutan oleh oksigen, dengan memberikan 2 elektron pada senyawa oksidator (Simon Bwidjanarko, 2008).

Vitamin C (Asam Askorbat) mudah teroksidasi, mudah larut dalam air, suhu lebur kurang lebih 190oC. Penetapan Kadar: Timbang seksama 400mg, larutkan dalam campuran 100mL air bebas karbondioksida P dan 25mL asam sulfat (10% v/v), titrasi segera dengan iodium 0,1 N menggunakan indikator larutan kanji P. 1mL iodium 0,1 N setara dengan 8,806 mg (Dirjen POM, 1979).

Vitamin C bersifat hidrofil dan melindungi membran sel dari luar, terutama bekerja dalam cairan di luar sel. Vitamin C banyak terdapat di semua sayur-mayur, khususnya kol, paprika, peterseli, asparagus, serta buah-buahan. Terdapat juga dalam susu sapi dan dan daging, kecuali hati. Dalam tubuh terdapat banyak jaringan, termasuk darah dan leukosit. Vitamin C mudah dioksidasi dan diinaktifkan (oksidasi) bila makanan dimasak terlalu lama. Khasiatnya yang terpenting adalah pada dosis teraupetis yang cukup tinggi berdaya antiviral kuat dan antibakteri. Khasiatnya dalam bentuk injeksi sangat cepat, karena kemampuannya menetralkan FR yang selalu banyak terdapat pada penyakit infeksi (Tjay dan Rahardja, 2007).

Reabsorpsinya dari usus cepat dan praktis sempurna (90%) tetapi menurun pada dosis di atas satu gram. Distribusi ke semua jaringan baik. Persediaan tubuh untuk sebagian besar terdapat dalam korteks anak ginjal. Dalam darah sangat mudah dioksidasi secara reversibel menjadi dehidroaskorbat yang hampir sama aktifnya. Sebagian kecil dirombak menjadi asam oksalat dengan jalan pemutusan ikatan antara C2 dan C3. Ekskresi berlangsung sebagai metabolit dehidronya dan sedikit sebagai asam oksalat.

Fungsi vitamin C adalah kompleks dan membentuk kolagen. Kolagen merupakan protein sebagai bahan penunjang utama dalam tulang dan tulang rawan dan jaringan ikat. Bila sintesa kolagen terganggu, maka mudah terjadi kerusakan pada dinding pembuluh yang mengakibatkan pendarahan. Khasiat ini berdasarkan antara lain efek stimulasi vitamin C terhadap pengubahan prolin menjadi hidroksiprolin.

Vitamin C juga menstimulasi banyak proses metabolisme melalui sistem redoksnya, yakni mudah dioksidasi dan direduksi dengan bantuan glutation.                  Oksidasi

Askorbat                 dehidroaskorbat + elektron

                 Reduksi

Pada reaksi ini vitamin C berfungsi sebagai donor atau akseptor elektron. Beberapa reaksi dimana vitamin C dioksidasi adalah hidroksilasi dari prolin, dopamin, dan hormon steroid, juga perombakan tirosin. Reaksi di mana vitamin C direduksi adalah misalnya pengubahan tryptophan menjadi serotonin. Selain itu, vitamin C juga berperan pada sintesa kortikosteroida dari kolesterol dalam anak ginjal (Tjay dan Rahardja, 2007).

Bila defisiensi vitamin C dapat terjadi pendarahan sekitar mata, paha, gusi, dan di bawah kulit yang disebabkan oleh hilangnya ikatan kolagen serta mudah rusaknya dinding pembuluh dan dinding kapiler. Borok sukar sembuh dan akhirnya gigi terlepas. Penyakit ini disebut skorbut (Jones, 1957).


 

Diantara sekian banyak contoh teknik atau cara dalam analisis kuantitatif, terdapat dua cara melakukan analisis dengan menggunakan senyawa pereduksi iodium, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Cara langsung disebut iodimetri (digunakan larutan iodium untuk mengoksidasi reduktor-reduktor yang dapat dioksidasi secara kuantitatif pada titik ekivalennya). Namun, metode iodimetri ini jarang dilakukan mengingat iodium sendiri merupakan oksidator yang lemah. Cara tidak langsung disebut iodometri (oksidator yang dianalisis kemudian direaksikan dengan ion iodida berlebih dalam keadaan yang sesuai yang selanjutnya iodium dibebaskan secara kuantitatif dan dititrasi dengan larutan natrium thiosilfat standar atau asam arsenit) (Day & Underwood, 1981).

Metode titrasi iodometri langsung (iodimetri) mengacu kepada titrasi dengan suatu larutan iod standar. Metode titrasi iodometri tak langsung (iodometri) adalah berkenaan dengan titrasi dari iod yang dibebaskan dalam reaksi kimia (Day & Underwood, 1981)..

Iodimetri merupakan titrasi langsung dan merupakan metoda penentuan atau penetapan kuantitatif yang dasar penentuannya adalah jumlah I2 yang bereaksi dengan sampel atau terbentuk dari hasil reaksi antara sampel dengan ion iodide. Iodimetri adalah titrasi redoks dengan I2 sebagai pentiter. Dalam reaksi redoks harus selalu ada oksidator dan reduktor , sebab bila suatu unsur bertambah bilangan oksidasinya (melepaskan electron), maka harus ada suatu unsur yang bilangan oksidasinya berkurang atau turun (menangkap electron). Jadi, tidak mungkin hanya ada oksidator saja ataupun reduktor saja. Dalam metode analisis ini, sampel dioksidasikan oleh I2, sehingga I2 tereduksi menjadi ion iodida :


 

A ( Reduktor ) + I2 →       A ( Teroksidasi ) + 2 I


 

Iodium merupakan oksidator yang tidak terlalu kuat (lemah), sehingga hanya zat-zat yang merupakan reduktor kuat yang dapat dititrasi. Indikator yang digunakan adalah amilum/kanji yang akan memberikan warna biru pada titik akhir titrasi.

I2 + 2 e
- →   2 I-

Iod merupakan zat padat yang sukar larut dalam air (0,00134 mol/L) pada 25C , namun sangat larut dalam larutan yang mengandung ion iodida . iodium membentuk kompleks triiodida dengan iodida :

I2 + I- →   I3-

Iodium cenderung dihidrolisis membentuk asam iodide dan hipoiodit :

I2 + H2O → HIO + H+ + I-

Larutan standar iodium harus disimpan dalam botol gelap untuk mencegah peruraian HIO oleh cahaya matahari.

2HIO →  2 H+ + 2 I- +O2
(g)

(Riana Septyaningrum, 2009)

Warna larutan 0,1 N iodium adalah cukup kuat sehingga dapat bekerja sebagai indikatornya sendiri. Iodium juga memberikan warna ungu atau merah lembayung yang kuat kepada pelarut-pelarut seperti karbon tetraklorida atau kloroform dan kadang-kadang hal ini digunakan untuk mengetahui titik akhir titrasi. Akan tetapi lebih umum digunakan suatu larutan (dispersi koloidal) kanji, karena warna biru tua dari kompleks kanji-iodium dipakai untuk suatu uji sangat peka terhadap iodium. Kepekaan lebih besar dalam larutan yang sedikit asam dari pada dalam larutan netral dan lebih besar dengan adanya ion iodida (Day & Underwood, 1981).

Larutan iodium merupakan larutan yang tidak stabil, sehingga perlu distandarisasi berulang kali. Sebagai Oksidator lemah, iod tidak dapat bereaksi terlalu sempurna, karena itu harus dibuat kondisi yang menggeser kesetimbangan kearah hasil reaksi antara lain dengan mengatur pH atau dengan menambahkan bahan pengkompleks. Larutan iod sering distandardisasi dengan larutan Na2S2O3 . selain itu bahan baku primer yang paling banyak digunakan ialah As2O3 pada pH tengah (Riana Septyaningrum, 2009).

Dua hal penting yang sering menyebabkan kesalahan dalam titrasi yang melibatkan iod adalah:


 


    1.  


       


 

  1. A. Pembuatan Indikator Kanji

    Kanji ditimbang sebanyak 1g


     


     

    Ditambahkan air 10mL


     


     

    Diaduk dengan menggunakan batang pengaduk


     


     

            

    B. Titrasi Sampel

    Vitamin C @200mg/2mL diambil sebanyak 4 ampul


     


     

    Larutan Vitamin C @200mg/2mL dipanaskan pada suhu masing-masing 30o C, 50o C, 70o C, dan 90o C


     


     

    Tiap sampel yang telah dipanaskan, didinginkan dalam wadah berisi es


     


     

    Masing-masing sampel diambil sebanyak 1mL


     


     

    Sampel ditambahkan dengan campuran 50mL air dengan 12,5 mL
    10%


     


     

    Sampel ditambahkan dengan indikator kanji sebanyak 7 tetes


     


     

    Sampel dititrasi dengan Iodium 0,1 N


     


     

    Hasil titrasi dicatat pada lembar pengamatan


     

  2. A. Hasil

    Tabel Pengukuran dan Penimbangan Bahan

No. 

Bahan 

Jumlah 

Kanji 

1 gr 

Vitamin C dalam ampul @ 200mg/2mL 

4 buah 

Air (untuk kanji) 

10 mL 

Air (untuk titrasi)

I. untuk vitamin C 90oC

II. untuk vitamin C 70oC

III. untuk vitamin C 50oC

IV. untuk vitamin C 30oC


 

50mL

50mL

50mL

50mL 


10% (untuk titrasi)

I. untuk vitamin C 90oC

II. untuk vitamin C 70oC

III. untuk vitamin C 50oC

IV. untuk vitamin C 30oC


 

12,5mL

12,5mL

12,5mL

12,5mL 

Indikator Kanji (untuk titrasi)

I. untuk vitamin C 90oC

II. untuk vitamin C 70oC

III. untuk vitamin C 50oC

IV. untuk vitamin C 30oC


 

7 tetes

7 tetes

7 tetes

7 tetes 


 

Tabel Titrasi Vitamin C


 

No. 

Vitamin C dengan pemanasan 

Jumlah Iodium yang diperlukan 

90oC

7,45 mL 

70oC

7,85 mL 

50oC

8,75 mL 

30oC

7, 95 mL 


 


 

B. Perhitungan

Pada titrasi 1 mL (@100 mg/mL) larutan Vitamin C digunakan
10% sebanyak 12,5mL dan air sebanyak 50mL kemudian diberi indikator kanji sebanyak 7 tetes, lalu dititrasi dengan iodium 0,1 N. 1 mL iodium 0,1 N setara dengan 8,806 mg vitamin C. Didapatkan hasil perhitungan sebagai berikut:


 

No. 

Vitamin C dengan pemanasan 

Jumlah Iodium yang diperlukan

Setara dengan vitamin C sebanyak 

Jumlah pengurangan vitamin C 

90oC

7,45 mL 

65,6047 mg 

34,3953 mg 

70oC

7,85 mL 

69,1271 mg 

30,8729 mg 

50oC

8,75 mL 

77,0525 mg 

22,9475 mg 

30oC

7, 95 mL 

70,0077 mg 

29,9923 mg 


 

  1. Kadar Vitamin C    =    

            =    

            =    70,01 %

  2. Kadar Vitamin C    =    

            =    

            =    77,05 %


     

  3. Kadar Vitamin C    =    

            =    

            =    69,13 %

  4. Kadar Vitamin C    =    

            =    

            =    65,61 %


     

  1. Pada praktikum ini, dilakukan uji stabilitas untuk menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat dan menjelaskan pengaruh suhu terhadap kestabilan zat.

    Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain panas, cahaya, kelembaban, oksigen, pH, mikroorganisme, dan bahan-bahan tambahan yang dipergunakan dalam formula sediaan obat. Suhu dapat mempengaruhi kestabilan suatu zat karena kenaikan suhu dapat mempercepat terjadinya berbagai reaksi termasuk reaksi-rekasi penguaraian yang dapat mengganggu stabilitas zat-zat tertentu.

    Untuk melakukan percobaan uji stabilitas ini, disiapkan beberapa larutan, yaitu larutan iodium 0,1 N, larutan asam sulfat 10 %, dan larutan kanji. Larutan iodium 0,1 N dibuat dengan melarutkan 12,69 gram iodium P dalam larutan KLP 18 gram dalam 100 mL air, yang kemudian diencerkan dengan air sampai 1000 mL.Setelah diencerkan, larutan ditambahkan dengan 1 mL HCl. Larutan asam sulfat 10 % dibuat dengan melarutkan 10 mL asam sulfat dengan 90 mL air. Larutan kanji dibuat dengan melarutkan 1 gram kanji dalam 10 mL air panas.

    Percobaan stabilitas ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap stabilitas sediaan obat khususnya dalam praktikum ini yaitu Vitamin C. Pada praktikum ini digunakan 4 ampul larutan vitamin C @200 mg/mL. Praktikum ini diawali dengan penyiapan alat dan bahan. Selanjutnya sampel vitamin C pertama dipanaskan menggunakan oven dengan suhu awal diatas 90oC kemudian ditunggu beberapa saat hingga suhu turun mencapai 90oC setelah itu sampel dikeluarkan dari oven, didinginkan dengan wadah berisi es untuk selanjutnya diambil sebanyak 1mL untuk ditambahkan dengan campuran 50mL air dengan 12,5 mL
    10%, ditetesi dengan 7 tetes indikator kanji, dan dititrasi dengan Iodium 0,1 N.

    Sampel vitamin C kedua dipanaskan menggunakan oven dengan suhu awal 90oC kemudian ditunggu beberapa saat hingga suhu turun mencapai 70oC setelah itu sampel dikeluarkan dari oven, didinginkan dengan wadah berisi es untuk selanjutnya diambil sebanyak 1mL untuk ditambahkan dengan campuran 50mL air dengan 12,5 mL
    10%, ditetesi dengan 7 tetes indikator kanji, dan dititrasi dengan Iodium 0,1 N.

    Sampel vitamin C ketiga dipanaskan menggunakan oven dengan suhu awal 70oC kemudian ditunggu beberapa saat hingga suhu turun mencapai 50oC setelah itu sampel dikeluarkan dari oven, didinginkan dengan wadah berisi es untuk selanjutnya diambil sebanyak 1mL untuk ditambahkan dengan campuran 50mL air dengan 12,5 mL
    10%, ditetesi dengan 7 tetes indikator kanji, dan dititrasi dengan Iodium 0,1 N.

    Sampel vitamin C keempat didiamkan pada suhu ruangan yang diasumsikan 30oC sejak sampel pertama dipanaskan hingga sampel ketiga selesai dititrasi.

    Selama menunggu pemanasan sampel, praktikan melakukan pembuatan indikator kanji. Indikator kanji yang telah jadi, sebelum ditambahkan pada larutan, diaduk kembali terlebih dahulu dengan tujuan agar larutan indikator kanji tidak terdapat endapan.

    Titrasi dilakukan hingga terjadi kesetimbangan berupa perubahan visual yaitu perubahan warna larutan dari bening menjadi abu – abu. Setelah terjadi perubahan warna larutan, titrasi dihentikan kemudian volume Iodium 0,1 N yang digunakan dicatat pada lembar pengamatan.

    Dasar dari metode titrasi yang digunakan adalah sifat mereduksi dari vitamin C. Titrasi dengan iodium 0,1 N pada vitamin C dilakukan dengan menggunakan proses langsung atau yang biasa disebut iodimetri.

    Warna larutan 0,1 N iodium cukup kuat, sehingga iodium dapat bekerja sebagai indikatornya sendiri. Walaupun dapat bekerja sebagai indikatornya sendiri, tetap digunakan suatu indikator lain dalam titrasi dengan iodium 0,1 N. Umumnya, digunakan suatu larutan kanji karena warna biru tua dari kompleks kanji-iodium dipakai untuk suatu uji sangat peka terhadap iodium. Kepekaan sangat besar dalam larutan yang sedikit asam daripada dalam larutan netral, dan lebih besar dengan adanya ion iodide. Karenanya, sampel vitamin C yang akan dititrasi ditambahkan terlebih dahulu dengan campuran asam sulfat 10 % dan air. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan suasana asam sehingga dapat memperbesar kepekaan titrasi. Titrasi dihentikan setelah terbentuk endapan warna biru.

    Berdasarkan perhitungan, kadar vitamin C yang terdapat pada sampel setelah dilakukan pemanasan adalah sebagai berikut.


     

Sampel 

Suhu (°C) 

Kadar Vitamin C 

30 

70,01 %

50 

77,05 %

70 

69,13 %

90 

65,61 %


 

Terlihat bahwa, kadar vitamin C yang terbesar terdapat pada sampel yang dipanaskan pada suhu 50°C. Kadar vitamin C terkecil didapat pada sampel yang dipanaskan pada suhu 90°C. Hal ini disebabkan karena vitamin C mudah teroksidasi.

Pada percobaan ini terdapat penyimpangan yaitu kadar vitamin C pada sampel dengan suhu 30°C lebih rendah dibanding kadar vitamin C pada suhu 50°C. Hal yang kemungkinan menyebabkan hal ini terjadi adalah ketika percobaan sedang berlangsung, Iodium yang disiapkan dalam wadah persediaannya maupun pada buret, mengalami penguapan karena Iodium mudah menguap. Hal lain yang mungkin menyebabkan penyimpangan ini adalah perlakuan pada sampel pertama dibiarkan pada suhu ruangan selama percobaan kemudian dititrasi paling terakhir setelah sampel kedua dengan suhu pemanasan 50oC sehingga kemungkinan terjadi oksidasi karena vitamin C dalam bentuk larutan mudah teroksidasi. Keterampilah praktikan dalam melakukan percobaan juga berpengaruh pada munculnya penyimpangan ini.

Pemanasan yang dilakukan pada sampel mempercepat terjadinya oksidasi sehingga kadar vitamin C yang tersisa pada sampel menjadi berkurang. Semakin tinggi suhu pemanasan, semakin banyak jumlah vitamin C yang teroksidasi, sehingga semakin sedikit kadar vitamin C yang tersisa pada sampel.

Untuk menentukan kadar vitamin C yang tersisa pada sampel, dilakukan titrasi iodimetri dengan indikator kanji. Vitamin C bersifat reduktor kuat akan dioksidasikan oleh I2 dalam suasana asam dan I2 tereduksi menjadi ion iodida. Reaksi yang terjadi pada titrasi iodimetri ini adalah :



 

Vitamin C mudah mengalami oksidasi, sehingga walaupun dibiarkan pada suhu kamar, akan terjadi oksidasi walaupun sedikit. Dari percobaan, faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan uji stabilitas, terutama saat menentukan kadar dari sampel. Hal – hal yang perlu diperhatikan, antara lain :

DAFTAR PUSTAKA


 


 

Day.R.A dan Underwood A.L. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi VI. Jakarta : Erlangga.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III . Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Jones, L. Meyer, 1957. Veterinary Pharmacology and Theraupetics. USA : The Lowa State College Press.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Raharja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Samping. Edisi Keenam. Jakarta: PT Elek Media Komputindo

Septyaningrum, Riana. 2009. Definisi Iodimetri.

    Available at : http://www.chem-is-try.org.

    Last opened : Saturday, November 7, 2009

Simon Bwidjanarko. 2008. Karakteristik Vitamin C.

Available at : http:// simonbwidjanarko.wordpress.com

Last opened : Saturday, November 7, 2009


 

0 comments:

Post a Comment